Pada tulisan ke dua dari seri belajar ekonomi islam ini, saya akan meneruskan pembahasan mengenai Time Value of Money, terimakasih kepada sahabat sahabat di KaSEI FE-Unri yang telah memberikan masukannya pada tulisan pertama, sehingga memperluas khasanah berfikir tentang ekonomi islam.
Pada suatu hari ketika asyik ngeteh di beranda rumah saya tiba -tiba saya kedatangan tamu.
“Assalamualaikum pak budi, apa kabar”
“Waalaikum salam pak ahmad, baik Alhamdulillah’
“apa cerita pak, tumben maen ke sini sore-sore”
“begini pak budi, langsung saja, saya mau pinjam uang Rp. 10 juta , untuk biaya anak saya sekolah”
“Hmmm.. lumayan besar ya pak, mau pinjam berapa lama pak ? “
“Kalau boleh saya mau pinjam 10 tahun pak, nanti Insya Allah setelah anak saya tamat kuliah dan dapat pekerjaan baru saya bayar “
…………………………………
hahaha ,,,, ada ya orang yang gaya minjam seperti itu? walaupun dialog itu hanya rekaan saja, saya akan memulai tulisan ini dengan dialog tersebut sebagai pengantar.
Ketika ada yang meminjam kepada kita., kita ada pilihan untuk mensikapinya :
- Disedekahkan
- Pinjamkan
Pilihan pertama, ini level TOP banget, ada yang mau meminjam, anda katakan sudah pak ambil saja. Saya kasih GRATIS.. Nah tipe yang pertama ini tipe teman yang harus anda perbanyak ..hehehe
Ketika di tanyakan mengapa Bapak baik sekali ?
Begini nak , saya percaya dengan sungguh sungguh bahwa firman Allah SWT, “Perumpamaan orang-orang yang mendermakan (shodaqoh) harta bendanya di jalan Allah, seperti (orang yang menanam) sebutir biji yang menumbuhkan tujuh untai dan tiap-tiap untai terdapat seratus biji dan Allah melipat gandakan (balasan) kepada orang yang dikehendaki, dan Allah Maha Luas (anugrahNya) lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al-Baqoroh: 261)
Dan sabda rasulullah SAW, Nabi bersabda: “Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sedekah) sebutir kurma“. (Muttafaqun ‘alaih)
Pilihan yang kedua yang orang ramai lakukan, yaitu meminjamkan .
Walaupun demikian meminjamkan bukanlah perbuatan yang tidak ada pahalanya, pahalanya sangat besar, Abu Umamah ra mengatakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Ada orang yang masuk surga melihat tulisan pada pintunya: ‘Pahala sedekah adalah sepuluh kali lipat, sedangkan (pahala) memberi pinjaman adalah delapan belas kali lipat.’” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang tersebut adalah Rasulullah SAW sendiri. (HR Thabrani dan Baihaqi).
Atau hadist rasul yang lainnya Abdulah bin Mas’ud ra mengungkapkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap pinjaman adalah sedekah.”
Sekarang kita telah melihat betapa besar kemulian yang Allah SWT berikan bagi mereka yang bersedekah ataupun yang meminjam kan hartanya. Keduanya punya kebaikan yang sangat besar.
Sekarang kita masuk ke materi kita, sudah jadi sifat dasar manusia untuk meraih keuntungan. Para ekonom konvensional juga ingin melihat kajian ilmiah ekonomi islam secara prakteknya apakah bisa menjawab tantangan ekonomi masa kini. Apakah cukup relevan digunakan untuk seluruh umat manusia, tidak hanya mereka yang menginginkan pahala saja, namun juga mereka yang beragama non muslim. Sehingga untuk menjawab itu perlu lah kajian ekonomi untuk menilainya.
Meneruskan kajian kita sebelumnya mengenai Time Value of Money, Jika pak ahmad meminjam Rp. 10 juta dan dibayarkan 10 tahun kemudian, saya sebagai pihak yang meminjamkan mungkin berfikir, jika terjadi inflasi atau deflasi di negara ini, berapa nilai riil dari mata uang rupiah pada 10 tahun yang akan datang ?
Nilai riil .. apa bendanya itu ? Untuk memperkuat khasanah berfikir kita saya akan jelaskan dahulu nilai yang ada pada UANG . Setiap uang itu memiliki 3 nilai pokok yaitu Nilai Nominal, Nilai Intrinsik dan Nilai riil (ada juga yang menambahkan nilai eksternal)
Apa yang dimaksud dengan nilai nominal ? Nilai nominal adalah nilai yang tertulis pada setiap mata uang atau nilai yang tertulis pada mata uang itu. Coba amati uang anda masing-masing yang bernilai nominal Rp1.000,00. Pada uang tersebut ada tulisan yang menunjukkan besarnya nilai uang, yaitu angka 1.000 dan tulisan SERIBU RUPIAH. Angka dan tulisan tersebut menunjukkan besarnya nilai nominal
Nah apa pula itu Nilai Intrinsik ? adalah nilai atau harga nyata dari bahan yang di gunakan untuk membuat uang itu sendiri . Nilai ini umumnya berlaku untuk mata uang logam dari emas dan perak. Nilai intrisik uang emas lebih mahal dari pada uang perak. Makin berat emas yang digunakan untuk membuat uang emas tersebut makin tinggi nilai intrinsiknya.Saat ini, semenjak negara-negara berpaling dari emas dan perak penggunaan kertas menjadi pilihan dan massif digunakan. Sehingga nilai intrinsik uang saaat ini hanyalah “kertas” sahaja. Hitung sendiri ya berapa harga kertas perlembarnya .. hehehe
Yang ketiga adalah nilai riil, yaitu nilai uang yang diukur dengan daya beli atau kemampuan uang tersebut untuk membeli berbagai barang dan jasa sesuai dengan harga yang berlaku.
Contohnya, uang saku kalian yang bernilai Rp1.000,00 dapat digunakan untuk membeli 5 bungkus permen, sedangkan uang Rp10.000,00 hanya dapat ditukar dengan
semangkok bakso. Jadi, nilai riil uang ditentukan oleh jumlah barang yang dapat diterima dalam pertukaran.
Jadi dengan mempertimbangkan nilai riil yang berlandaskan konsep time value of money kemudian terbentuklah pemikiran supaya nilai riil uang saat ini bisa sama dengan nilai riil uang di masa depan, maka lahirlah konsep BUNGA sebagaimana yang telah kita uraikan pada tulisan yang pertama.
Tulisan ini juga untuk menjawab kegelisahan kita barangkali, bagaimana model ekonomisnya uang yang dipinjamkan selama 10 tahun itu tidak merugikan pihak si peminjam, walaupun ada inflasi ataupun deflasi yang melanda negeri itu.
Bagaimana Ekonomi Islam menjawabnya ?
Cara yang digunakan dalam ekonomi islam adalah menggunakan Komodi/Barang yang bernilai dan diterima oleh banyak orang sebagai alat untuk meminjam yaitu : EMAS dan PERAK
Telah ribuan tahun, kedua logam mulia ini diakui sebagai alat penyimpan kekayaan. Emas dan Perak adalah logam mulia yang diterima luas oleh masyarakat dunia.
Bagaimana operasionalnya ?
Jika ada yang meminjam uang kepada kita sebesar Rp. 10 juta rupiah, yang kita pinjamkan bukanlah uang namun EMAS atau PERAK yang setara dengan Rp.10 Juta. Ambil contoh jika harga emas saat ini adalah Rp.500.000,-/ gram. Maka yang kita pinjamkan adalah 20 gram emas.
Begitu juga nanti ketika nanti dikembalikan, yang dikembalikan adalah emas seberat 20 gram emas. Kesimpulannya kita merubah dari pinjam meminjam uang kertas menjadi pinjam meminjam emas.
Lalu bolehkan pinjaman itu dicicil ? tentu saja boleh . Seorang peminjam bisa mencicil pinjaman 20 gram emas tersebut , dan tentu saja yang dicicil adalah emas bukan uang setara emas.
Saya perlu garis bawahi, yang kita pinjam atau nanti kembalikan adalah emas. Bukannya setara emas. Jika emas hanya menjadi tolak ukur saja, namun kita tetap memberikan rupiah, saya tidak yakin lagi konsep syariahnya. Terus terang rekomendasi saya adalah Emas dan Perak, bukan setara emas dan perak.
Apa kelebihan kita mempadankan pinjaman kita dengan EMAS dan PERAK ?
- Inflasi rendah dan terkendali.
Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram (1980), seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas (gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan, termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh, dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan; inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.
- Kebutuhannya cukup
Pemakaian emas adalah hal yang realistis karena emas tersedia secara cukup untuk seluruh umat manusia. Laju pertumbuhan emas berkisar 1.5%–4.0% pertahun, sementara pertambahan jumlah penduduk dunia hanya sekitar 1.2% pertahun (www.jurnal ekonomi.org). Emas menjadi tidak cukup jika ada yang menimbunnya. Inilah mengapa Allah SWT sangat mengancam orang-orang yang menimbun emas (QS at-Taubah [9]: 34-35).
Untuk melengkapi tulisan ini saya coba lakukan perhitungan ilmiah dengan menggunakan harga emas dan saya bandingkan dengan suku bunga pinjamaan yang berlaku saat ini. Hal ini mengingat Emas dan perak adalah suatu komoditi/barang. Sebagai barang nilainya bisa berubah naik dan turun. Dalam perhitungan ini saya lakukan penyetaran emas dengan mata uang rupiah. Untuk membuktikan setelah disetarakan dengan rupiah pun, nilainya masih lebih ekonomis dibandingkan kita menggunakan suku bunga sebagai alat ukur time value of money yang digadang gadangkan ekonom barat ( semoga paragraph yang ini bisa dipahami, karena terlalu operasional)
Saya gunakan harga emas Antam dari tanggal 7 nov 2013 – 7 nov 2016. Diketahui harga emas antam adalah sebagai berikut :
7 nov 2013 = Rp. 456.000,-
7 nov 2014 = Rp. 446.000,-
7 nov 2015 = Rp. 482.000,-
7 nov 2016 = Rp. 536.000,-
(sumber: harga-emas.org)
Dengan memperhitungkan nilai emas tersebut, jika kita meminjam Rp. 10.000.000, pada tanggal 7 nov 2013- (disetarakan dengan emas) maka jika kita melunasi pada tahun 2014 atau tahun 2015 dan atau tahun 2016 maka jumlah yang dibayarkan adalah sebagai berikut (diseterakan dengan rupiah) :
- Pada tanggal 7 nov 2014, pinjaman kita jika disetarakan dengan rupiah adalah Rp.9.780.702,-
- Pada tanggal 7 nov 2015 pinjaman kita jika disetarakan dengan rupiah adalah Rp.10.807.175,-
- Pada tanggal 7 nov 2016 pinjaman kita jika disetarakan dengan rupiah adalah Rp.11.120.332,-
Kemudian kita bandingkan dengan suku bunga pinjaman yang berlaku maka didapat perhitungan sebagai berikut. (saya menggunakan suku bunga korporasi 12.5% pertahun).
Saya menggunakan rumus suku bunga majemuk : M3 = M ( 1 + 0,125 )3
Maka jika kita meminjam Rp.10.000.000,- dalam periode 3 tahun kita harus mengembalikan (pokok _ bunga adalah ) Rp. 14.239.000 ,-
Dari perbandingan diatas, dapatlah kita lihat bahwa jikapun disetarakan dengan emas, pinjaman Rp.10.000.000,- akan menjadi Rp. 11.120.332. Dibandingkan dengan sistem konvensional yang menggunakan bunga sebagai alat ukur nilai riil masa depan, kita harus mengembalikan sebesar Rp. 14.239.000,- Sehingga lebih ekonomis Rp.3.118.668,-
Nilai riil uang itu dimasa 3 tahun lagi hanyalah Rp.11.120.332,- sementara menurut alat ukur konvensional adalah Rp.14.239.000,- selisih antara nilai riil dengan ekpektasi dengan sistem bungainilah yang kemudian menyebabkan buble ekonomi . Secara ringkas buble ekonomi adalah ekpektasi pasar yang berlebih, yang membuat harga suatu barang/aset melonjak tanpa diiringi nilai fundamentalnya. Oleh karenanya, gelembung ekonomi (economic bubble) ditafsirkan sebagai fenomena lonjakan harga-harga aset ke level yang jauh di atas nilai fundamentalnya.
Insya Allah dilain kesempatan kita akan bedah lebih lanjut buble ekonomi ini. Namun perlu kita pahami, buble ekonomi inilah yang menjadi penyebab utama krisis keuangan dunia saat ini.
Semoga tulisan ini dapat memperkuat khasanah berfikir kita tentang ekonomi islam.