SEJARAH AKUNTANSI DI NEGARA ISLAM
“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
Tujuan Pembelajaran
- Mengetahui kronologi sejarah perkembangan akuntansi.
- Studi urgensi masa yang berlangsung antara tahun 500 SM. sampai tahun 1494 M.
- Memahami peran angka-angka Arab dalam pengembangan akuntansi, terutama di Itali.
- Menyimpulkan hubungan metodologis antara manuskrip Al Mazindarani dan buku Pacioli.
- Memahami sistem dan praktik-praktik akuntansi yang berjalan di negara Islam dan membandingkannya dengan apa yang digunakan sekarang.
- Mengetahui peran zakat dalam pengembangan akuntansi, dan konsep akuntansi yang populer di negara Islam.
- Memahami pengaruh-pengaruh yang timbul dari pendirian dan perkembangan kantor-kantor pemerintahan, spesialisasi kemampuan manusia pada pengembangan sistem administrasi, sistem pengawasan secara umum, dan sistem akuntansi secara khusus, di negara Islam.
- Mengenal sistem akuntansi dan nama-nama buku (akuntansi) di negara Islam dan membandingkannya dengan apa yang terdapat di dalam buku Pacioli.
- Studi daftar keuangan dan sistem penggambaran saldo piutang sebagaimana yang pernah digunakan di Negara Islam, dan membandingkannya dengan apa yang digunakan pada masa kita sekarang ini.
- Mengulas pentingnya zakat dari sisi peran yang dimainkannya dalam pengembangan akuntansi, yaitu dari sisi pentingnya bagi pribadi muslim dan negara Islam.
Pendahuluan
Sesungguhnya sejarah akuntansi, sebagaimana yang ditulis oleh para ahli sejarah Barat dan menurut apa yang kami kemukakan di bab I, menunjukkan bahwa akuntansi secara umum atau apa yang dinamakan dengan sistem doubele entry secara khusus tumbuh dan berkembang di Eropa, yaitu di Republik Itali. Di antara referensi yang dapat dilihat, baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa Inggris, tidak kami dapati penyebutan apa pun tentang apa yang terjadi di negara Islam. Boleh jadi, pengabaian peran negera Islam dalam pengembangan akuntansi karena disengaja atau karena ketidaktahuannya. Sesungguhnya kita semua mengetahui dengan baik peran yang dimainkan oleh negara Islam dalam pengembangan berbagai ilmu dan seni. Hal ini mencakup akuntansi keuangan.
Dengan izin Allah Tabaraka Wa Ta’ala, dalam bab ini, kami akan menjelaskan sejarah perkembangan akuntansi di dunia Islam, yaitu akan kami jelaskan dalam pembahasan pertama, sehingga pembaca mengetahui mata rantai sejarah akuntansi yang lepas itu. Kami juga akan menjelaskan faktor-faktor penyebab perkembangan akuntansi di negara Islam, dalam pembahasan kedua. Kita mohon kepada Allah semoga Dia memberikan pertolongan dan taufik-Nya kepada kita.
PEMBAHASAN PERTAMA
Kronologi Perkembangan Akuntansi Di Dunia Islam
Vangermeersch memandang bahwa tempat tumbuhnya sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry) masih diperdebatkan. (Berton, 1933, hal.1). Hal ini berarti bahwa dia tidak menerima bahwa tempat tumbuhnya sistem tersebut di Republik Itali. Dia beralasan bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi dalam buku-buku akuntansi, yang merupakan suatu metode untuk memilah-milah data sesuai dengan kaidah-kaidah khusus yang telah dikenal secara umum (Have, 1976, hal. 5–6). Berdasarkan hal tersebut, sebagian peneliti memandang bahwa masih diragukan, sistem pencatatan sisi-sisi transaksi dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini atau yang mendekati hal itu telah dipraktikan secara meluas pada abad XIV (Weis and Tinuis, 1991, hal. 54), yakni mereka meragukan adanya praktik tersebut secara meluas di Itali pada abad XIV, terutama Pacioli hanya menyebutkan adanya praktik secara meluas tanpa menentukan tempatnya. Keraguan ini pada kenyataannya beralasan. Alasan pertama, yaitu kosongnya masa sejarah dari sejarah akuntansi, yaitu masa yang terjadi antara lenyapnya negeri antara dua sungai dan negeri Mesir di dunia Arab sampai abad XV secara umum. Secara khusus, ketika Pacioli menyebarkan bukunya yang mengandung satu bab tentang akuntansi, yaitu pada tanggal 10 Nopember 1494 M. Kekosongan ini hampir mendekati dua ribu tahun. Alasan kedua, yaitu penggunaan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi secara luas tidak diragukan lagi mengharuskan adanya suatu praktik kerja dan pusat-pusat pelatihan yang mampu mencetak pribadi-pribadi yang ahli dan mampu menggunakan sistem ini secara luas. Pada kenyataannya, pusat-pusat pelatihan semacam itu tidak ada di Itali, kecuali pada akhir abad XVI, yaitu setelah kurang lebih dua abad dari munculnya buku Pacioli. Pusat pelatihan para akuntan yang pertama di Itali didirikan di kota Venice pada tahun 1581 M., dan dikenal dengan nama Colege of Accountans. Setelah para peserta studi menerima ilmu dari lembaga tersebut, mereka diharuskan untuk berlatih (praktik kerja) di kantor-kantor akuntan yang telah teruji selama enam tahun, setelah itu, mereka diuji sebelum dapat mempraktikkan profesi akuntansi secara mandiri. (American Institute of Certified Accountants, 1970, hal.3) Demikian pula praktik kerja belum memiliki wujud yang diperhatikan sebelum munculnya buku Pacioli. Hal ini kembali pada keterbelakangan ilmu yang dialami Eropa pada saat itu, yang dikenal dengan masa kegelapan.
Di antara yang patut diperhatikan adalah Pacioli menyebutkan di dalam bukunya bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi telah ada sejak masa yang lama (Murray, 1930, hal. 16), tetapi ia tidak menyebutkan sejak kapan dan di mana sistem ini telah ada sejak lama. Apakah hal itu di dalam Republik Itali pada saat itu, ataukah di tempat lain. Demikian juga salah seorang peneliti, De Rover, berpendapat bahwa bab yang terdapat di dalam buku Pacioli tentang akuntansi hanyalah suatu bentuk nukilan dari apa yang ada pada saat itu beredar di antara para murid dan guru di sekolah aritmetika dan perdagangan (Venetian Schole) atau dalam bahasa Inggris Schools of Commerce and Arithmetic. Dengan demikian, Pacioli hanyalah penukil (Transcriber ) atau pencatat terhadap apa yang beredar pada saat itu (Chatfield, 1968, hal. 45). Sesungguhnya ucapan ini tampak diterima oleh akalnya, namun terganjal oleh adanya hubungan antara para pedagang muslim dan para pedagang Itali. Tetapi, pertanyaan yang muncul adalah: Siapakah yang menemukan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi? Di mana hal itu? Dan bagaimana sistem ini bisa beralih ke tangan orang-orang Itali?
Mungkin dapat dikatakan bahwa pada saat Eropa hidup pada masa kegelapan, kaum muslimin telah menggunakan akuntansi dan ikut andil dalam mengembangkannya. Sementara itu, peradaban Islam, dalam pertumbuhan dan perkembangannya, berdiri di atas asas kebahagiaan manusia melalui hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam dan hal-hal yang dapat merealisasikan bagi manusia integrasi antara tuntutan-tuntutan spiritual dan tuntutan-tuntutaan material. Hal ini dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash :77).
Orang-orang Arab, terutama di Makah, kemudian kaum muslimin setelah itu, menggunakan akuntansi untuk menentukan keuntungan dengan mengukur kelebihan yang ada pada aset mereka. Peradaban Islam selamanya telah disifati sebagai peradaban Arab. Tampaknya, hal ini dikarenakan kaum musliimin menggunakan bahasa Arab, yang merupakan bahasa AlQur’an. Di samping itu,karena orang-orang Arab adalah para pedagang yang tangguh di Eropa, Afrika, dan Asia. Pada hakikatnya, peradaban yang dikenal oleh masa Islam adalah bersumber dari Islam, dan pembangunnya adalah kaum muslimin. Peradaban Islam ini, dengan segala karakter, arah pandang, dan sumbernya, berbeda dengan seluruh peradaban sebelumnya dan yang sesudahnya. Oleh karena itu merupakan suatu kesalahan, mengatakan bahwa ia adalah peradaban Arab. Ia adalah peradaban Islam yang belum pernah ada bandingannya di dunia ini, sebelum dan sesudahnya. Di samping itu, Islam menolak fanatisme golongan, maka orang-orang yang ikut andil dalam membangun peradaban Islam bukan saja orang-rang Arab. Bahkan, banyak dari ilmu yang ditemukan dan dikembangkan oleh kaum Muslimin non-Arab. Dengan demikian tidak boleh menyandarkan peradaban Islam kepada orang-orang Arab saja atau kepada kelompok tertentu selain mereka. Kaum muslimin memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang dijumpainya dari berbagai macam bangsa, melalui perjalanan dagang mereka. Sebagai contoh kami sebutkan pengaruh para pedagang Yaman terhadap orang Indonesia dan Malaysia, yakni mereka itu berpindah agama, dari Budha ke Islam.
Demikian pula, banyak orang-orang Eropa yang mengunjungi dunia Islam terpengaruh dengan apa yang mereka rasakan di negeri Islam. Banyak di antara mereka yang masuk Islam ketika mereka merasakan kekuatan pendorong yang merubah orang-orang badui yang memeluk Islam menjadi ulama’ dan pemimpin. Sebagian peneliti telah merasakan pengaruh peradaban Islam dan kaum muslimin terhadap dunia, yakni salah seorang dari mereka mengatakan bahwa para pedagang Itali telah menggunakan huruf-huruf Arab (Have, 1976, hal. 33), di samping angka-angka Arab juga. Di samping itu, sebagian penulis memandang bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi yang dikenal dengan sistem pembukuan ganda (double entry) telah dikenal oleh penduduk dahulu, dan sistem ini tersebar di Itali melalui perdagangan. Demikian pula bahwa di sana terdapat beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa orang-orang terdahulu telah mencatat pemasukan dan pengeluaran tunai pada lembaran-lembaran yang berhadapan dengan sistem debet dan kredit. (Heaps, 1985, hal. 19–20). Tidak diragukan lagi, mereka itu adalah orang-orang Arab terdahulu sebelum Islam, di Babilonia, Mesir, lalu di Hijaz, setelah itu diikuti oleh kaum muslimin. Demikian pula perkataan peneliti ini bahwa sistem pencatatan sisi-sisi transaksi telah tersebar di Itali melalui perdagangan, yang dimaksudkan adalah melalui kaum muslimin. Sebab, kaum muslimin pernah menjalin hubungan dagang yang kuat dengan orang-orang Itali; dan tidak ada seorang pun yang mendahului mereka dalam melakukan hal itu, sejak Eropa keluar dari masa kegelapan.
Tahun 1202 M. adalah tahun dimasukkannya angka-angka Arab dan aritmetika–yang keduanya ditemukan oleh kaum muslimin–ke Eropa, yaitu melalui buku yang ditulis oleh Leonardo of Pisa Putra Bonnaci (Fibonnaci) yang banyak melakukan perjalanan ke dunia Arab. (Brown, 1968, hal.11). Tentu saja, hal ini bukan berarti akuntansi tidak sampai ke Itali melalui para pedagang muslim, sebelum tahun 1202 M. Sebab, sangat memungkinkan, hubungan dagang dan akibat yang ditimbulkannya seperti adanya hubungan cinta kasih antara kaum muslimin dan orang-orang orang Itali telah membuka jalan bagi penggunaan angka-angka Arab dalam skala yang terbatas, sehingga buku Leonardo of Pisa mendapatkan sambutan yang baik ketika terbit. Buku Leonardo of Pisa memuat bab-bab tentang aritmetika yang menjelaskan cara penjumlahan, pengurangan, menentukan harga, barter dan persekutuan-persekutuan terutama yang serupa dengan Syirkah Tadlamun. Buku ini mendapatkan perhatian besar dari para pedagang, karena menyajikan cara baru penomoran dari satu sampai sepuluh. Cara ini tidak akan disajikan kepada orang-orang Eropa di Itali kecuali setelah nyata berhasil penerapannya di negara Islam di sisi penemunya, kaum muslimin. Dengan sistem ini, masalah-masalah akuntansi yang dihadapi oleh para pedagang pada saat itu berhasil diselesaikan. Secara umum, bahasa Arab adalah bahasa yang populer di dunia Islam. Sebagian wilayah Islam bahasanya bukan bahasa Arab, namun bahasa mereka ditulis dengan huruf-huruf Arab. Sebagian studi menunjukkan bahwa huruf-huruf Arab digunakan dalam 39 bahasa selain bahasa Arab, di Asia. Afrika dan Eropa. Di antara bahasa-bahasa Asia yang menggunakan hurup Arab adalah bahasa Turki, Parsi, Azerbaijan, Kurdi, Afganistan, Hindustan, Kashmir, Punjab, Urdu, Tamil, India, Usbek, Jawa, Sunda, Melayu, Sulawesi dan Indonesia. Adapun bahasa-bahasa Afrika yang ditulis dengan huruf-huruf Arab antara lain : Qubataliyah, Syalhaniyah, Sawahiliyah, Bumbariyah, Fulaqiyah, Susatiyah, Ghambiyah, dan Fayarijiyah. Sedangkan di Eropa, bahasa yang menggunakan huruf Arab antara lain: Sanukan, Qazan, dan Qumnuk (Hawaditus Sa’ah, 1995, No. 52). Sebagaimana telah dikatakan, orang-orang Eropa dan orang-orang Amerika mengkaitkan peradaban Islam dengan orang-orang Arab boleh jadi dikarenakan orang-orang Arab menjadi pelopor dalam penyebaran agama Allah, Islam. Di samping menyebarkan agama Allah, mereka juga menyajikan peradaban mereka yang tumbuh dan berkembang dari celah-celah Islam. Di antaranya adalah perdagangan, dan ilmu-ilmu yang lain.. Hal ini ditegaskan oleh salah seorang peneliti bahwa orang-orang Arab yang datang dari timur ke Eropa telah membawa dagangan mereka yang bermacam-macam, berbagai penemuan mereka dalam ilmu pengetahuan, dan matematika. (Woolk, 1912, hal. 54).
Peradaban Islam telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan syari’at Islam yang berasaskan pada Al Qur’an dan As Sunnah. As Sunnah mengandung seluruh ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Muhammad bin Abdillah shallahu `alaihi wasallam, sebagaimana yang dihafal oleh para sahabat ridlwanullah ‘alaihim. Sangat disayangkan, kita dapati sebagian penulis dari kalangan non Islam tidak berusaha memahami Islam secara benar, dan mengulang-ulang pendapat yang tidak sesuai dengan kedudukan ilmiah mereka tanpa memikirkan hasil dari apa yang mereka tulis. Di antaranya adalah definisi yang mereka kemukakan tentang Rasul Muhammad shallallahu `alaihi wasallam, yaitu seorang pemimpin yang di dalam tulisan-tulisan sastranya memberikan banyak pengetahuan dan hikmah kepada para pengikutnya. (Haskins, 1900, hal. 11). Dengan definisi tersebut, mereka mempunyai maksud bahwa Al Qur’an bukan dari sisi Allah. Salah satu penelitian modern yang dilakukan oleh salah seorang peneliti Muslim bersama para peneliti Barat menunjukkan bahwa manfaat yang mungkin dipetik dari Islam dalam pengembangan akuntansi dan kerangka perdagangan tidak dapat diambil manfaatnya, setelah dilakukan penelitian yang mendalam.(Hamid et al, 1993, hal 132). Hal ini menunjukkan bahwasanya sangat mendesak, kebutuhan untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang non muslim, terutama para pemikir mereka, tentang hakikat Islam dan apa saja yang dapat dipersembahkan kepada manusia, di samping apa yang telah dipersembahkan kepada mereka melalui berbagai ilmu pengetahuan yang dijadikan asas oleh orang-orang Barat dalam meraih kemajuan ilmu pengetahuan mereka.
Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Pacioli, adalah adanya manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H./1363 M. Manuskrip ini adalah karya seorang penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani, dan diberi judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat”. Tulisan ini disimpan di perpustakaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni di Istambul Turki, tercatat di bagian manuskrip dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi di negara Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf Arab, tetapi bahasa yang digunakan terkadang bahasa Arab, terkadang bahasa Parsi dan terkadang pula bahasa Turki yang populer di Daulat Utsmaniyah,. Buku ini telah ditulis kurang lebih 131 tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Memang, buku Pacioli termasuk buku yang pertama kali dicetak tentang sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry), dan buku Al Mazindarani masih dalam bentuk manuskrip, belum di cetak dan belum diterbitkan.
Al Mazindarani berkata bahwa ada buku-buku–barangkali yang dimaksudkan adalah manuskrip-manuskrip–yang menjelaskan aplikasi-aplikasi akuntansi yang populer pada saat itu, sebelum dia menulis bukunya yang dikenal dengan judul :”Risalah Falakiyah Kitab As Sayaqat”. Dia juga mengatakan bahwa secara pribadi, dia telah mengambil manfaat dari buku-buku itu dalam menulis buku “Risalah Falakiyah” tersebut. Dalam bukunya yang masih dalam bentuk manuskrip itu, Al Mazindarani menjelaskan hal-hal beriktu ini:
- Sistem akuntansi yang populer pada saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang khusus bagi setiap sistem akuntansi.
- Macam-macam buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi keuangan.
- Cara menangani kekurangan dan kelebihan, yakni penyetaraan.
Menurut Al Mazindarani, sistem-sistem akuntasni yang populer pada saat itu, yaitu pada tahun 765 H./1363 M. antara lain:
- Akuntansi Bangunan.
- Akuntansi Pertanian.
- Akuntansi Pergudangan
- Akuntansi Pembuatan Uang.
- Akuntansi Pemeliharaan Binatang.
Al Mazindarani juga menjelaskan pelaksanaan pembukuan yang populer pada saat itu dan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti. Di antara contoh pelaksanaan pembukuan yang disebutkan oleh Al-Mazindarani adalah sebagai berikut:” Ketika menyiapkan laporan atau mencatat di buku-buku akuntansi harus dimulai dengan basmalah, “Bismillahir Rahmanir Rahim”. Jika hal ini yang dicatat oleh Al Mazindarani pada tahun 765 H./1363 M., maka hal ini pula yang disebut oleh penulis Itali, Pacioli 131 tahun kemudian. Pacioli berkata, “harus dimulai dengan ungkapan “Bismillah’.” (Brown and Johnson, 1963, hal. 28)
Salah seorang penulis muslim juga menambahkan pelaksanaan pembukuan yang pernah digunakan di negara Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apa pun, maka harus diberi garis pembatas, sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan. Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.
- Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
- Harus mencatat transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.
- Pencatatan transaksi harus menggunakan ungkapan yang benar, dan hati-hati dalam menggunakan kata-kata.
- Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau menghapusnya. Apabila seorang akuntan (bendaharawan) kelebihan mencatat jumlah suatu transaksi, maka dia harus membayar selisih tersebut dari kantongnya pribadi kepada kantor. Demikian pula seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran, maka dia harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya transaksi tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran sebesar 1300 dinar, sehingga dia terpaksa harus membayar jumlah tersebut. Pada akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku bandingan dengan saldo buku-buku yang lain, dan saldo-saldo bandingannya yang ada di kantor.
- Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci tentang jumlah (keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara pengaturannya terhadap jumlah (keuangan) tersebut.
- Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan membandingkannya dengan laporan tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.
- Harus mengelompokkan transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya dalam kelompok-kelompok yang sejenis, seperti mengelompokkan dan mencatat pajak-pajak yang memiliki satu karakter dan sejenis dalam satu kelompok.
- Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-sumber pemasukan-pemasukan tersebut.
- Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
- Ketika menutup saldo, harus meletakkan suatu tanda khusus baginya.
- Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi-transaksi sejenis ke dalam buku khusus yang disediakan untuk transaksi-transaksi yang sejenis itu saja.
- Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan di buku harian dan buku-buku yang lain.
- Setelah mencatat dan memindahkan transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus menyiapkan laporan berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan laporan itu harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 163–165)
Kalau kita perhatikan pelaksanaan pembukuan tersebut, seluruhnya atau secara umum serupa dengan apa yang digunakan sekarang, terutama poin 9 dan 10. Sebelumnya telah disinggung, salah seorang penulis menyatakan bahwa orang-orang terdahulu mencatat pemasukan dan pengeluaran pada dua halaman yang berhadap-hadapan, dengan sistem debet dan kredit. (Heaps, 1985, hal. 19–20). Sesungguhnya pelaksanaan pembukuan yang telah disebutkan di sini secara umum, khususnya poin 9 dan 10, menggambarkan bentuk tertentu yang memberikan andil dengan suatu sistem atau dengan yang lain dalam pengembangan sistem pencatatan sisi-sisi debet di sebelah kiri dan sisi-sisi kredit di sebelah kanan, baik dalam satu halaman maupun dua halaman yang berhadap-hadapan.
Di samping apa yang telah disebutkan di atas, perkembangan akuntansi mencakup penyiapan laporan keuangan, karena negara Islam telah mengenal laporan keuangan tingkat tinggi. Laporan keuangan ini pernah dibuat berdasarkan fakta buku-buku akuntansi yang digunakan. Di antara laporan keuangan yang terkenal di negara Islam adalah Al-Khitamah dan Al Khitamatul Jami’ah. Al Khitamah adalah laporan keuangan bulanan yang dibuat pada setiap akhir bulan. Laporan ini memuat pemasukan dan pengeluaran yang sudah dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, di samping memuat saldo bulanan. Sedangkan Al-Khitamatul Jami’ah adalah laporan keuangan yang dibuat oleh seorang akuntansi untuk diberikan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Apabila Al-Khitamatul Jami’ah disetujui oleh orang yang menerima laporan tersebut, maka laporan itu dinamakan Al Muwafaqah. Dan apabila Al Khitamatul Jami’ah tidak disetujui karena adanya perbedaan pada data-data yang dimuat oleh Al Khitamatul Jami’ah, maka ia dinamakan Muhasabah (akuntansi) saja. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 138)
Berikut ini adalah contoh-contoh dari Al Khitamah :
Bismillaahirrahmaanirahiim
Laporan keuangan per 1 Muharam sampai 30 Dzul Hijjah tahun .. H.
Sumber-Sumber Keuangan:
- a) Pajak-pajak dari … tanggal …… 000
- b) Pemasukan dari .. . tanggal …… 000
Di samping itu adalah :
- a) Pindahan dari tahun buku yang lalu 000
- b) Penjualan-penjualan 000
- c) Denda-denda 000
- d) Wesel-wesel 000
_____
Jumlah 000
Penggunaan Dana
- a) Wesel-wesel ke kantor lain 000
- b) Pembelian-pembelian kantor 000
- c) Pengeluaran-pengeluaran lain 000
____ 000
Saldo 000
Kalau kita perhatikan contoh laporan yang dikenal dengan nama Al Khitamah tersebut, sesungguhnya hal itu serupa dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Qoimatu Mashadir Wastikhdamatil Amwal (Daftar Sumber dan Penggunann Keuangan). Hal ini menunjukan bahwa Al Khitamah adalah sumber rujukan bagi daftar yng digunakan sekarang ini, dan telah ada serta digunakan sejak berabad-abad yang silam.
Sesungguhnya pembuatan laporan keuangan di negara Islam harus bersandar pada dokumen-dokumen yang mempertegas keberadaan dan kebenaran data-data yang dijadikan dasar untuk membuat laporan. Negara Islam telah mengenal penting pemenuhan dokumen-dokumen yang memadai untuk setiap transaksi.
Sistem dokumentasi termasuk tuntunan syar’i yang asasi sesuai dengan Al-Qur’anul Karim yang merupakan sumber asasi dan utama dalam syariat Islam. Sebaik-baik mengenai hal itu adalah firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
“ . . . . .dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya . . . . .”
“ . . . . . . dan persaksikanlah apa bila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan .. . . . . “ (Al Baqarah : 282)
Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan suatu keharusan memenuhi dokumen-dokumen secara sempurna sebelum mencatat transaksi keuangan apa pun di dalam buku. Hal ini diperkuat oleh apa yang ditemukan di dalam perpustakaan Mesir, yaitu adanya bukti tanda terima (receipt) dari zaman negara Islam, yang didalamnya tertera tahun 148 H./756 M. receipt ini telah memenuhi persyaratan yang dituntut pada saat itu, dan sesuai dengan apa yang digunakan pada waktu sekarang. Hal ini merupakan bukti lain tentang kemajuan sistem akuntansi dan sistem dokumentasi masa negara Islam dalam bentuk yang tiada duanya. Bahkan, pengelolaan bukti transaksi pada masa kita sekarang ini hampir sesuai dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam sejak abad I H.
Receipt-receipt yang berlaku pada masa negara Islam harus memenuhi persyaratan, yaitu memuat data-data pokok, yang di antaranya adalah : tanggal pengeluaran, jumlah, tempat pengeluaran, saksi transaksi, nama, tanda tangan dan sebab-sebab pembayaran. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 144 –145). Persyaratan tersebut, yang berlaku pada masa negara Islam sejak abad II H. atau abad VIII M. adalah persyaratan yang berlaku sekarang ini, pada akhir abad XX M. Namun sumber-sumber Barat tidak menyebutkan sumber data-data yang digunakan pada masa sekarang ini, sebagaimana halnya Pacioli tidak menyebutkan sumber tulisannya.
Ketika mengeluarkan receipt, yang digunakan pada masa negara Islam, receipt yang asli diberikan kepada yang membayar jumlah tersebut. Receipt yang asli ini dinamakan thiraz. Sedangkan salinan receipt tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar pencatatan di dalam buku akuntansi. Sebab, pencatatan di dalam buku-buku akuntansi bersandar pada dokumen-dokumen lain, yang dikenal dengan nama syahid. syahid ini termasuk dari dokumen-dokumen lain seperti receipt. Dengan demikian syahid menggambarkan tentang journal voucher. syahid ini dibuat oleh seorang akuntan disetujui oleh pimpinan kantor, atau menteri atau wakilnya. Persetujuan ini termasuk suatu bentuk perizinan untuk menggunakan syahid sebagai asas pencatatan di dalam buku. Persetujuan pimpinan kantor, atau menteri atau wakilnya dengan menulis kata “yuktab (dicatat)”. Dengan adanya persetujuan terhadap syahid itu, seorang akuntan melakukan pencatatan transaksi-transaksi di dalam buku-buku berdasarkan realitas syahid itu. Kemudian, akuntan tersebut menyimpan syahid tersebut dan tetap menjadi tanggung jawabnya sebagai petunjuk untuk transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku akuntansi, melalui pemberian kuasa oleh pimpinan kantor, atau materi atau wakilnya.
Apabila transaksi keuangan telah terjadi di luar ibu kota wilayah Islam, maka pelaksanaan seperti di atas harus diikuti juga dengan mengirimkan salinan syahid, ke ibu kota wilayah Islam. Ketika menerima salinan syahid, maka sulthan, (penguasa) memberikan stempel pada salinan syahid tersebut, atau disimpan sebagai dasar untuk pelaksanaan pembukuan kantor pusat. Hal ini menunjukan bahwa disana terdapat kegandaan dalam pencatatan transaksi keuangan yang terjadi di luar tempat tinggal sulthan, di ibu kota wilayah. Tampaknya istilah yang dikenal dengan Al Qaidul Muzdawaj (Pembukuan Ganda/Double Entry) dalam bahasa-bahasa asing, yang dicetuskan oleh buku Pacioli, boleh jadi bersumber dari hal ini. Ini hanya sekadar kesimpulan dari kami, dan kami tidak memiliki bukti pendukung yang mempertegas penggunaan istilah ini di dalam negara Islam. Di antara dalil-dalil lain yang menunjukkan perkembangan akuntansi di dalam negara Islam adalah adanya tuntutan asasi yang menghendaki pentingnya penyimpanan buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengannya secara sistematis, juga tuntutan untuk membuat indeks buku-buku dan dokumen-dokumen secara sistematis agar mudah dilihat sewaktu diperlukan, setelah selesai pencatatan di buku-buku dan selesai penyempurnaan penyimpanan dokumen-dokumen di map-map. Di samping itu, membuka buku-buku dan dokumen-dokumen tersebut, setelah tutup buku, harus memenuhi persyaratan tertentu yang intinya menghendaki pentingnya persetujuan salah seorang pegawai senior di kantor itu. (Ibid , hal. 147 )
Di antara perkara lain yang memiliki pengaruh terhadap sistem akuntasi dan mendapatkan perhatian besar di negara Islam adalah Sistem Pengawasan Intern yang merupakan bagian penyempurna bagi sistem akuntansi. Sejak awal, negara Islam telah memiliki sistem pengawasan yang ketat terhadap pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran, karena pemasukan negara Islam tidak saja berasal dari berbagai sumber, tetapi juga memiliki jumlah yang besar sekali. Sistem pengawasan yang diperlukan bagi sistem akuntansi dirancang dengan cara menampakan kekurangan macam apa pun di dalam kas negara secara langsung melalui ketidakseimbangan buku-buku. Di antara yang patut disebutkan adalah salah seorang sahabat yang mulia, yaitu ‘Amir Ibnul Jarrah berkirim surat kepada Amirul Mu’minin Khalifah Umar Ibnul Khaththab, radliyallahu’anhu, menjelaskan adanya kekurangan di Baitul Mal sebesar satu dirham. (Ibid , hal . 13). Hal ini menunjukkan kehebatan sistem yang digunakan pada saat itu, dari satu sisi, dan dari sisi yang lain menunjukkan efektivitasnya. Demikian pula, Al Mazindarani di dalam bukunya pada tahun 765 H./ 1363M., menyebutkan bahwa sistem pengawasan intern memiliki signifikansi, dan digunakan di seluruh kantor . Hal inilah yang menegaskan bahwa Pacioli bukanlah orang pertama yang memberikan perhatian pada sistem pengawasan intern; juga termasuk sesuatu yang menunjukkan adanya hubungan antara manuskrip Al Mazindarani dan buku Pacioli, dari sisi kemungkinan Pacioli bersandar pada apa yang terdapat di dalam manuskrip Al Mazindarani.
Dari apa yang telah ditemukan mungkin dapat dikatakan bahwa perkembangan sistem akuntansi, pelaksanaan pembukuan, penentuan buku-buku akuntansi, sistem dokumentasi, laporan keuangan, dan sistem pengawasan intern di dalam negara Islam telah memberikan andil dalam mewujudkan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry) dan perkembangnya. Namun, istilah yang kami gunakan ini, yaitu sistem pencatatan sisi-sisi transaksi, atau istilah yang dikenal dengan sistem pembukuan ganda (double entry) tidak digunakan di dalam negara Islam. Tetapi dapat kita simpulkan, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kegandaan pembukuan di setiap ibu kota wilayah dan tempat terjadinya transaksi boleh jadi merupakan penyebab timbulnya penggunaan istilah yang dikenal dengan pembukuan ganda (double entry). Ini dari sisi penggunaan istilah. Adapun dari sisi praktik, maka sistem pencatatan sisi-sisi transaksi dari segi pelaksanaan pembukuan, bukan dari segi penamaannya, telah dicatat oleh Al Mazindarani di dalam bukunya pada tahun 765 H. /1363 M., namun dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang disebutkan oleh buku Pacioli. Tetapi, perbedaannya tidak menyentuh inti pencatatan sisi transaksi . perbedaan ini hanya terjadi pada cara pengungkapan tentang sisi-sisi transaksi, sebagaimana terlihat jelas pada contoh-contoh berikut ini :
Contoh Pertama
Tampaknya, contoh pertama ini sangat sulit dibaca, demikian juga contoh-contoh yang lain, karena tulisan itu sangat lama. Contoh-contoh ini terdapat di dalam manuskrip Al Mazindarani halaman 28 a. dan 28 b. Penulisan ulang (terjemahan) bagian-bagian tersebut mungkin penting bagi kita, yaitu sebagai berikut :
Upah-upah
Atas jaminan Al Fanar
Tanggal 10 Jumadil Akhir 841 H.
Dibayarkan kepada Abdullah, pegawai pencetakan uang
Uang tunai yang dibayarkan 500 dinar
Gandum Kapas
15 ember kecil x 3 dinar = 45 dinar 22 mann x 2,5 dinar = 55 dinar
Jumlah nilai barang dan uang tunai 600 dinar.
Dari penjelasan contoh pertama sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka kita dapat memahami bahwa telah dilakukan pembayaran sejumlah 500 dinar secara tunai dan sejumlah 100 dinar dalam bentuk barang, yaitu 15 ember kecil gandum seharga 3 dinar per ember kecil. Jadi jumlah harga gandum yang dibayarkan kepada Abdullah adalah 45 dinar. Di samping itu, 22 mann kapas dengan harga 2,5 dinar per mann (seberat 2 kati). Jadi, jumlah harga kapas yang dibayarkan adalah 55 dinar. Dengan demikian total nilai barang yang dibayarkan adalah 45+55 = 100 dinar. Contoh pertama ini mungkin diungkapkan dengan bahasa lebih sederhana sebagai berikut :
-Upah yang dibayarkan secara tunai : 500 dinar
-Upah yang dibayarkan dalam bentuk barang: 100 dinar
-Gandum 15 ember kecil @ 3 dinar 45
-Kapas 22 mann @ 2,5 dinar 55 ___
Total upah yang dibayar 600 dinar
Hal ini mungkin dapat diungkapkan dengan cara sekarang, sesuai dengan sistem akuntansi, yaitu sebagai berikut :
Dinar Dinar
Upah 600
Kas 500
Gudang 100
Gandum 15 ember kecil @ 3 dinar 45 dinar
Kapas 22 mann @ 2,5 dinar 55 dinar ___ ___
600 600
=== ===
(Dibayarkan kepada Abdullah secara tunai di samping gandum dan kapas)
Conto Kedua
Contoh kedua ini terdapat di dalam manuskrip Al Mazindarani halaman 30 a, 30 b, dan 31 a. Bentuknya yang asli ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Alasan-alasan pengeluaran atas jaminan
Tuan Najibuddin Al Balhi, kewajiban satu tahun penuh
pada awal Rabi`ul Akhir 842 H.
Stok barang 300.000 dinar
Pada neraca 280.000 dinar
Di antara hal itu dari wilayah 140.000 dinar
Beasiswa Biaya pembantu Biaya hidup pembantu lama
60.000 dinar 20.0000 dinar 20.000 dinar
Biaya untuk pemasukan dan pengeluaran Derma-derma
20.000 dinar 20.000 dinar
Ithlaqiyyah 140.000 dinar
Biaya kertas 80.000 Pembayaran pegawai gudang 60.000 dinar
Sisanya sesuai dengan susunan ini 20.000 dinar.
Di samping itu, dari pemasukan pertanian 30.000 dinar
Dari anggur kering Dari buah badam
200 wiqr x 100 dinar=20.000 dinar. 50 wiqr x 200 dinar=10.000 dinar
Jumlah yang ada pada konsultan dari sisa dan tambahan 50.000 dinar
Dari contoh no. 2, kita pahami bahwa di sana ada barang di gudang senilai 300.000 dinar. Demikian pula telah diterima pendapatan berupa barang senilai 30.000 dinar. Jadi, total barang di gudang senilai 330.000 dinar. Dari total barang di gudang, dibayarkansenilai 140.000 dinar, yang diambilkan dari penghasilan wilayah. Dibayarkan juga jumlah yang serupa dari jumlah yang sah di dalam neraca yang dinamakan ithlaqiyyah. Juga dibayarkan senilai 50.000 dinar kepada kepada orang yang diundang, Najibuddin Al Balhi. Kalau diperhatikan bahwa jumlah yang terakhir telah dibayarkan berupa barang. Sementara itu, kita dapati bahwa dua jumlah yang dibayarkan dari penghasilan wilayah dan dari perimbangan tidak ditentukan. Barangkali, keduanya dibayar secara tunai setelah barang-barang tersebut diubah menjadi tunai. Berdasarkan hal ini, kita dapat mengulang pengilustrasian contoh no. 2 dengan bahasa yang sederhana sebagaimana yang digunakan sekarang ini sebagai berikut:
Dinar Dinar
Barang di gudang 30.000
Bea siswa 60.000 Dinar
Gaji para pembantu 20.000
pensiun para pembantu 20.000
Transport-transport 20.000
Derma-derma 20.000
Dari pemasukan wilayah 140.000
Kertas-kertas dan keperluan kantor 80.000 dinar
Dibayarkan kepada pegawai gudang60.000
Ithlaqiyyah (neraca) 140.000
Dibayarkan kepada Najibuddin Al Balhi 50.000
Anggur kering 200 wiqr
@ 100 dinar 20.000 dinar
Buah badam 50 wiqr
@200 dinar 10.000 dinar
Pemasukan pertanian 30.000
330.000 330.000
====== ======
Hal ini dapat diilustrasikan ulang dengan cara sekarang dari segi akuntansi sebagai berikut
Dinar Dinar
Bea siswa 60.000
Gaji Pembantu 20.000
Gaji pensiunan pembantu 20.000
Biaya transportasi 20.000
Derma-derma 20.000
Kertas-kertas dan kebutuhan kantor 80.000
Gaji pegawai gudang 60.000
Untuk jaminan Najibuddin Al Balhi 50.000
Barang di gudang 300.000
Pemasukan penghasilan
pertanian 30.000
Anggur kering
200 wiqr x 100 dinar 20.000 dinar
Buah badam
50 wiqr x 200 dinar 10.000
———— —————
330.000 330.000
======= ======
Dari contoh no 1 dan 2, kita melihat adanya pencatatan sisi-sisi debet dan kredit, meskipun metode yang dipakai oleh Al Mazindarani berbeda dengan metode sekarang sebagaimana yang disebutkan Pacioli. Namun kita dapati tegaknya asas-asas yang membatasi sisi-sisi debet dan kredit, yang kita namakan Thariqah Itsbat Athrafil Mu`amalat (Sistem Pencataan Sisi-Sisi Transaksi), dan orang-orang banyak menamakannya Thariqah Al Qaidul Muzdawaj (Sistem Pembukuan Ganda/Double Entry) sebagai terjemahan dari apa yang ditulis oleh Pacioli. Berdasarkan hal tersebut minimal dapat dikatakan bahwa Sistem Pencatatan Sisi-Sisi Transaksi asasnya telah terdapat di dalam negara Islam meskipun dengan sistem yang berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Pacioli, yaitu melalui catatan-catatan yang ada sampai waktu sekarang. Barangkali para peneliti masa mendatang akan menemukan catatan-catatan sejarah dari masa negara Islam dengan berbagai tahapannya, yang menunjukkan bahwa kaum muslimin menggunakan suatu sistem yang lebih berkembang untuk pencatatan sisi-sisi transaksi, menyerupai apa yang disebutkan oleh Pacioli.
Adapun contoh no 3. menunjukkan data-data sebagai berikut:
Stok barang 300.000 dinar
Neraca 320.000
Di antara hal itu pada wilayah 150.000
Bea kuburan Gaji Pembantu Sultan Pensiun para pembantu
Amirul mu’minin Husain
60.000 dinar 50.000 dinar 40.000 dinar
Ithlaqiyyah darinya 170.000 dinar
Tuan Karkir Akji Amir Ali Bakawul
120.000 dinar 50.000 dinar
Tambahan pada pokok 20.000 dinar
Dari informasi keuangan yang disebutkan di sini dalam contoh no. 3, dapat kita pahami sebagai berikut:
Sesungguhnya di sana ada stok barang senilai 300.000 dinar, dan jumlah yang sah “neraca” adalah 320.000 dinar. Ini menunjukkan adanya kekurangan senilai 20.000 dinar, dan inilah yang ditunjukkan dengan ungkapan “tambahan pada pokok”. Demikian pula kita pahami bahwa jumlah yang sah tersebut telah dibelanjakan sebagai berikut: 150.000 dinar untuk pengeluaran wilayah, terdiri dari 40.000 dinar untuk perbaikan kuburan Amirul mu’minin Husain, 60.000 dinar dibayarkan kepada pembantu Sulthan, dan 50.000 dinar dibayarkan kepada para pembantu yang pensiun. Di samping itu, telah dibayarkan sejumlah 170.000 dinar, yakni 120.000 dinar kepada Tuan Imad sebagaimana terlihat di dalam jumlah khusus di dalam neraca, dan 50.000 dinar tidak dikhususkan dalam neraca dibayarkan kepada Tuan Amir Ali.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan, dapat kita ulang pengilustrasian contoh no. 3 dengan bahasa yang sederhana sebagaimana yang digunakan pada masa sekarang sebagai berikut:
Barang di gudang 300.000 dinar
Derma untuk perbaikan kuburan
Amirul mu’minin Husain 40.000 dinar
Gaji pembantu Sultan 60.000
Pensiun para pembantu 50.000
Tuan Imad direktur pengelola
gudang (dari dalam neraca) 120.000
Amir Ali, kasir
(dari luar neraca) 50.000
Tambahan pada pemasukan
(kekurangan) ———— 20.000
320.000 320.000
====== ======
Dengan sistem sekarang dari sisi akuntansi, pengilustrasian no. 3 dapat diulang sebagai berikut:
Dinar Dinar
Derma perbaikan kuburan
Amirul mu’minin Husain 40.000
Gaji pembantu Sulthan 60.000
Pensiun para pembantu 50.000
Tuan Imad, pengelola gudang 120.000
Amir Ali, kasir 50.000
Barang di gudang 300.000
Kekurangan neraca 20.000 ———-
320.000 320.000
====== ======
Sekali lagi kita dapati bahwa contoh no 3 membatasi macam-macam pengeluaran dan jumlahnya sebagaimana pula membatasi sisi-sisi yang menentukan pengeluaran. Di samping membatasi unsur-unsur debet dan kredit, contoh ini juga membatasi sumber-sumber pengeluaran………………………….. …………………………….hal 76……. Demikian pula menjelaskan adanya kekurangan di dalam neraca. Hal inilah yang telah kami jelaskan bahwa negara Islam sejak masa pertumbuhannya telah mengenal sistem pengawasan intern, yakni mampu mengungkap suatu kekurangan, baik yang diperkenankan sebagaimana keadaan di sini atau karena kesalahan sebagaimana terjadi pada masa Amirul mu’minin Umar Ibnul Khaththab, yaitu ketika seorang sahabat, Amir Ibnul Jarrah menjelaskan adanya kekuarangan di Baitul Mal sebesar satu dirham.
Adapun contoh no. 4 semisal dengan contoh no. 3 dari segi topik, sehingga tidak perlu dijelaskan . Contoh no. 4 berisi hal-hal berikut ini:
Stok barang 300.000 dinar
Dari jumlah itu dikeluarkan 240.000 dinar
Neraca 150.000 dinar
Bea siswa Gaji pembantu Persiun para pembantu
40.000 70.000 dinar 40.000 dinar
Ithlaqiyyah darinya 90.000 dinar
Tuan Imaduddin Karkir Akji Ali Bakawul
60.000 30.000 dinar
Sisa pada pekerja 60.000 dinar
Penjelasan contoh no. 4 tidak berbeda dengan contoh no. 3 dari segi substansinya, maka kami tidak mengulanginya. Namun, kami hanya mengulang pengilustrasian contoh no. 4 dengan bahasa sederhana sebagaimana yang digunakan sekarang, yaitu sebagai berikut:
Dinar Dinar
Barang di gudang 300.000
Bea siswa 40.000
Gaji pembantu 70.000
Pensiun para pembantu 40.000
Imaduddin, pengelola gudang 60.000
Ali, kasir 30.000
Sisanya pada pekerja 60.00 ———–
300.000 300.000
Adapun sistem sekarang dari sisi akuntansi, pengilustrasian contoh no. 4 dapat diulang sebagai berikut:
Dinar Dinar
Bea siswa 40.000
Gaji pembantu 70.000
Pensiun para pembantu 40.000
Imaduddin, pengelola gudang 60.000
Ali, kasir 30.000
Barang digudang 240.000
———– ————
240.000 240.000
======= =======
H/ Barang di gudang
Bea siswa 40.000 saldo 300.000
Gaji pembantu 70.000
Pensiun para pembantu 40.000
Imaduddin, pengelola
gudang 60.000
Ali, kasir 30.000
240.000 300.000
======= =======
saldo 60.000
PEMBAHASAN KEDUA
Faktor-Faktor yang Mengantarkan
Perkembangan Akuntansi di Negara Islam
Salah seorang penulis mengatakan bahwa setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada praktik dan pengalaman, berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, hal. 21)
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry), baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke generasi. Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul karena adanya berbagai faktor. Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu perkembangan ini di dalam Republik Itali. Di antara yang patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami lihat praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al Mazindarani bahwa itu merupakan suatu ilmu. Namun, kami tidak setuju bahwa itu sebagai ilmu, sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab III, pembahasan pertama.
Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, di sana terdapat berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di negara Islam. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan, speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor-faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi dan mendorong pengembangan akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi muslim, yaitu faktor zakat. Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat yang harus dikeluarkan sesuai dengan syari’at Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam.
Pedirian kantor-kantor pemeintahan berakitan erat dengan sistem administrasi, sejak pendirian awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M., yaitu pada tahun pertama Hijriyah. Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan nama Dawawin, dan bentuk tunggalnya adalah diwan . Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi definisi dan penggunaanya telah berjalan di negara Islam. Kata diwan artinya adalah tempat bekerja para pegawai, yaitu tempat pencatatan dan penyimpanan buku-buku akuntansi (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 26). Ibnu Khaldun berkata, “Asal penamaan ini adalah, pada suatu hari Kisra melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung sendiri, seolah-olah mereka berbicara (sendiri). Lalu, Kisra berkata, “Diwanah”. Arti kata tersebut adalah “gila”, lalu tempat mereka itu dikatakan “Diwanah”. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf ha’nya dibuang untuk mempermudah pengucapan, dan menjadi kata “diwan”. (hal. 268)
Tampaknya, kata diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-kantor pemerintahan dalam bentuk yang lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H./634 M. (Britanica, Vol. 22, hal. 109) yakni pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahhu’anhu.
Adapun spesialisasi kemampuan memepunyai signifikansi, karena adanya pembagian fungsi dan pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam (Muhammad Al Marisi Lasin, 1973, hal. 5). Demikian pula hak dan kewajiban para pegawai di semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak pendirian negara Islam di Madinah pada tahun 622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam memiliki 42 penulis yang memiliki spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di Madinah. Setiap pegawai memiliki peran tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka juga tertentu dan jelas. (Muhammad Al Hawari (A), 1989, hal. 5).
Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam. Sejak awal, negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang berspesialisasi. Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam dalam memilih pegawai, yaitu dari orang-orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menduduki jabatan. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam memilih para pegawai itu dari para sahabatnya yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan. (Muhammad Hawari (B), 1989, hal. 16).
Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul hisabat ( pengoreksian pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan), atau ar riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan yang pertama sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan kepada auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan. (Al Qalqasyandi, hal. 130-139). Al Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan kebutuhan terhadapnya. Dia berkata, “Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam menghitung atau mencatat, sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi melihat kesalahan-kesalahan orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk mengoreksi pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi buku yang dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan menerima isi buku tersebut. (Ibid).
Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal. Baitul Mal ini sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara. Al Qur’anul Karim telah menentukan sumber-sumber yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek penyalurannya sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (At Taubah : 60)
Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, kami tidak menganggap mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan faktor asasi yang mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar seorang muslim dapat mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba yang diperoleh dari modal yang berputar.
Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun pengertian akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi bagi penggunaan akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan akuntasi pada masa kita sekarang ini. Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang mengembangkan pengertian ini pada abad sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan peran akuntansi di negara Islam. Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX M., sementara tujuan ini telah populer di negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang menjelaskan tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal. 45). Perlu diketahaui bahwa Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi. Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang pedagang atau yang lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa bantuan data-data yang tercatat dalam buku. (Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di antara kewajiban seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan shalat, shaum, dan zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi sebagai seorang pedagang; dan mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali, 1400 H., vol. 1, juz 1–3, hal. 42–30) juga (Sayid Sabiq,1403 H./1983 M., vol. III, juz 11–14, hal. 125–126).
Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai sarana untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur keuntungan melalui selisih modal pada dua priode, hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan tanggung jawab, hal ini terjadi pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata, “Seorang akuntan harus berpegang pada aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar selamanya”. (hal. 54). Hal ini menunjukkan perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawsan intern yang berkaitan erat dengannya. Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan menurut syariat Islam. Demikian pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya pekerjaan akuntansi dibangun atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus, memantulkan dalam pemikiran kami akan pentingnya sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan yang dicatat dalam buku harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.
Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 37). Ini merupakan bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai sarana informasi yang bertujuan mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran itu. Hal ini mengandung pembatasan perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan penanggungjawab perbedaan-perbedaan tersebut, lalu pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang pasti ketika perbedaan-perbedaan itu tidak dapat di tolerir.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian akuntansi, dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah perhatian terhadap pengawasan diri. (juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada Pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara makhluq-makhluq-Nya. Hal ini tampak jelas di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284)
Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum dihisab, khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.
Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab; timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian untuk menghadapi penampakan amal”.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab radliyallahu `anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya ini dan perkembangan tersebut, dan bagaimana beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi keuangan secara khusus. Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap dirimu”. (Al Isra’:14)
Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil muhasabah terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah pertanggungjawaban . Hal ini tampak jelas di dalam perkataan Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat perkara, yaitu : tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya, dihabiskan untuk apa; tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan tentang ilmunya, apa yang telah diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut beliau hadits ini hasan shahih).
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad shallallahu `alaihi wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)
Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul Azhim bin Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)
Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sebagai akibat bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah pemasukan tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun 14–24 H. /636–646 M. Beliaulah yang memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya. Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.
Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku dan catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada tahun 86–96 H. /706–715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu, sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132–232 H. /750–847 M. Yakni, pada tahun 132 H. /750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama khusus terhadapnya.
Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson, 1963, hal. 43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25). Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan “Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam. Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun yang hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M. Mengatakan bahwa seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku, serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama Specialised Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273–275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang melakukan pencatatan di buku. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131–132). Hal ini menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang setelah itu sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
Daulat Abbasiyyah, 132–232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus (Specialized Accounting Books). Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu adalah sebagai berikut:
- Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
- Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya.
- Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada saat itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:
- Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Collectable Debts.
- Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts.
- Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami kemukakan pada pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh terhadap penggambaran kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap jumlah zakat.