Hari ini kita akan mempelajari dua aqad dalam satu transaksi. Mungkin kita telah membaca hadits tentang pengharaman aqad ini. Berikut ini kami sampaikan tulisan yang mengharamkan dua aqad atau lebih dalam satu transaksi.
Walaupun secara pribadi saya berseberangan pendapat dengan tulisan ini, namun karena ada sebahagian pemikir ekonomi islam yang berpendapat bahwa jenis aqad ini adalah haram. Maka demi menambah khasanah berfikir maka tulisan ini tetap saya tampilkan.
Silahkan disimak dan tinggalkan pesan untuk bahan diskusi . Terimakasih
MENGKAJI DUA AKAD ATAU LEBIH MENJADI SATU AKAD
Menggabungan dua akad atau lebih menjadi satu akad dalam fiqih kontemporer disebut al-‘uqud al-murakkabah (akad rangkap/multiakad).
Akad rangkap adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Nazih Hammad, Al-‘Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7; Abdullah al-‘Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).
Aplikasinya dalam bank syariah misalnya akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale). Akad ini tidak sama persis dengan akad Murabahah yang asli, yaitu jual beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli. (Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa’u At-Tajiru Jahlahu, hal. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai’ fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 15; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 399 dst).
Adapun Murabahah KPP, lebih kompleks dan melibatkan tiga pihak, yaitu pembeli, lembaga keuangan, dan penjual. Prosesnya: pembeli (nasabah) memohon lembaga keuangan membeli barang, lalu lembaga keuangan membeli barang dari penjual secara kontan, lalu lembaga keuangan menjual lagi barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan, angsuran, atau bertempo. (Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hal.107; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 412).
Jadi dalam Murabahah KPP ini ada dua akad; akad jual beli antara lembaga keuangan dan penjual; dan akad jual beli antara lembaga keuangan dengan pembeli.
Menurut penggagasnya, akad rangkap hukumnya mubah berdasar kaidah fikih : al-ashlu fi al-mu’amalat al-ibahah (hukum asal muamalah adalah boleh). Maka hadits-hadits yang mengharamkan dua jual beli dalam satu jual beli (bai’ataini fi bai’atin), atau mengharamkan dua akad dalam satu akad (shafqatain fi shafqatin), dipahami hanya perkecualian dari hukum asalnya. (Hasanudin, Multi Akad dalam Transaksi Syariah Kontemporer, hal. 13).
Pendapat yang terpilih (rajih) bagi kami, akad rangkap hukumnya tidak sah secara syar’i.
Alasan Saya; Pertama, kaidah fiqih yang digunakan tidak tepat. Dengan mendalami asal-usulnya, nyatalah kaidah itu hanya cabang dari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (hukum asal segala sesuatu adalah boleh). Padahal nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah:29) berbicara tentang hukum benda (materi), bukan tentang mu’amalah. (Hisyam Badrani, Tahqiq Al-Fikr Al-Islami, hal. 39).
Kedua, ada nash yang melarang penggabungan akad. Ibnu Mas’ud RA berkata,”Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin)” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/308).
Hadits ini bukan perkecualian, melainkan larangan menggabungkan akad secara mutlak, tanpa melihat akad-akad yang digabungkan bertentangan atau tidak. Kaidah ushul fikihnya : Al-Muthlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala at-taqyid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya) (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208). Wallahu a’lam