Mengenal Transaksi MUSYARAKAH dalam Transaksi Bisnis Ekonomi Islam
DEFINISI
Musyarakah (Syirkah) adalah percampuran dana untuk tujuan pembagian keuntungan.
DASAR SYARIAH
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.” (Qs. Shad: 24)
Hadist Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata: ”Sesunggunya Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.’” (HR. Abu Daud dan Hakim).
- JENIS-JENIS MUSYARAKAH
Musyarakah ada dua jenis: musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak).
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset riil dan keuntungan yang dihasilkan darinya.
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan berbagi keuntungan dan kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi : Al-Inan, Mufawadha, A’maal dan Wujuh.
Para ulama berbeda pendapat tentang Mudharabah, apakah ia termasuk musyarakah .
Beberapa ulama menganggap Mudharabah termasuk didalamnya karena pada prinsipnya ia memenuhi rukun dan syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah. Ulama yang lain tidak menganggapnya sebagai musyarakah.
- Al-Inan Adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka, tetapi tidak disaratkan sama , baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil (hal ini harus disepakati di antara mereka).
Jenis ini dibolehkan oleh semua ulama. Mazhab Hanafi dan Hanbali mengizinkan salah satu dari yang berikut.
- Keuntungan dari kedua pihak dibagi menurut porsi dana mereka;
- Keuntungan bisa dibagi secara sama tapi dana yang diberikan mungkin berbeda
- Keuntungan bisa dibagi secara tidak sama tapi dana yang diberikan sama.
Ibnu Qudamah mengatakan: “Pilihan dalam keuntungan dibolehkan dengan adanya kerja, karena salah seorang dari mereka mungkin lebih ahli dalam bisnis dari yang lain dan ia mungkin lebih kuat ketimbang yang lainnya dalam melaksanakan pekerjaan, dan karenanya ia diizinkan untuk mensyaratkan kelebihan dalam bagian keuntungannya.”
Mazhab Maliki dan Syafii menerima jenis musyarakah ini dengan syarat keuntungan dan kerugian proporsional dengan ukuran dana yang diberikan, karena keuntungan dalam jenis musyarakah ini dianggap keuntungan pada modal.
- Musyarakah Mufawadha Adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Adalah syarat dari jenis musyarakah ini bahwa dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab dan beban hutang dibagi secara sama oleh pihak-pihak itu.
Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan musyarakah jenis ini tetapi memberikan banyak batasan terhadapnya.
- Musyarakah A’maal Adalah kontrak antara dua orang yang sepakat untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya dua orang dari profesi atau keahlian yang sama sepakat untuk bekerja bersama dan membagi keuntungan yang timbul dari pekerjaan itu dengan dasar kesepakatan.
Musyarakah ini kadang-kadang disebut Musyarakah Abdan atau Sanaa’i Musyarakah A’maal dibolehkan oleh Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Ia dianggap sah baik jika profesi itu sama atau sebaliknya. Kebolehannya didasarkan kepada bukti-bukti termasuk persetujuan terbuka dari Nabi SAW. Lagipula ia didasarkan kepada perwakilan (wakalah) yang juga dibolehkan. Musyarakah jenis ini telah lama digunakan tanpa ada yang menyangkal.
- Musyarakah Wujuh Adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Pihak yang berkontrak membeli barang secara kredit dari perusahaan, tergantung kepada reputasi mereka dan menjual barang itu secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.
Karenanya musyarakah jenis ini tidak memerlukan modal, sebab ia didasarkan pada kredit yang didukung oleh jaminan. Karenanya ia kadang-kadang disebut “musyarakah piutang”.
Musyarakah Wujuh dibolehkan oleh Mazhab Hanafi dan Hanbali. Para pendukung dibolehkannya jenis ini beralasan bahwa ia mengandung jaminan perwakilan yang juga dibolehkan hukumnya, telah lama digunakan tanpa ada yang menyangkal.
RUKUN DAN SYARAT MUSYARAKAH
- Rukun Musyarakah
a. Sighat (Ucapan): Ijab dan Qabul (Penawaran dan Penerimaan)
b. Pihak yang berkontrak
c. Obyek kesepakatan: Modal dan Kerja
- Syarat Musyarakah
- Ucapan Tidak ada bentuk khusus dari kontrak Musyarakah. Ia dapat berbentuk pengucapan yang menunjukkan tujuan. Berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak Musyarakah dicatat dalam tulisan dan disaksikan.
- Pihak yang berkontrak Disyaratkan bahwa mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
- Obyek Kontrak (Dana dan Kerja)
Dana adalah Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, perlengkapan dan sebagainya. Dapat juga dalam bentuk hak yang tidak terlihat, seperti lisensi, hak paten dan sebagainya. Dibolehkan oleh beberapa ulama modal sebuah perusahaan dapat disumbangkan dalam bentuk jenis-jenis aset ini asalkan barang-barang itu dinilai dengan tunai menurut yang disepakati para mitranya.
Mazhab Syafii dan Maliki mensyaratkan dana yang disediakan oleh para pihak itu harus dicampur supaya tidak ada keistimewaan diberikan kepada bagian salah satu dari mereka.
Tetapi Mazhab Hanafi tidak mencantumkan syarat ini jika modal itu dalam bentuk tunai,
sedangkan mazhab Hanbali tidak mensyaratkan percampuran dana.
Kerja : Partisipasi para mitra dalam pekerjaan Musyarakah adalah sebuah hukum dasar dan tidak dibolehkan bagi salah satu dari mereka untuk mencantumkan ketidakikutsertaan dari mitra lainnya. Tetapi kesamaan kerja bukanlah merupakan syarat. Dibolehkan sorang mitra melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh mensyaratkan bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
HUKUM-HUKUM MUSYARAKAH
Hukum-hukum tentang modal Berikut ini dicantumkan hukum-hukum yang paling berkaitan yang mengawasi operasi modal dan pemeliharaannya.
- Wilayah kerja. Hal ini berhubungan dengan penentuan wilayah kerja dari setiap pekerjaan mitra dalam musyarakah itu dalam hubungannya dengan tujuan dan aktifitas mitra. Mitra harus melakukan kerja yang disepakati termasuk masalah lalai atau kesalahan yang disengaja. Pekerjaan dalam musyarakah termasuk manajemen bisnis (seperti perencanaan, pembuatan kebijakan, pengembangan program eksekutif, tindak lanjut, supervisi, penilaian kinerja dan pembuatan keputusan).
- Perwakilan dalam kerja Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Ini diatur oleh hukum dasar dari kontrak perwakilan dalam fiqih Islam. Beberapa dari hukum ini berhubungan dengan pimpinan (principal), sebagian berhubungan dengan wakil dan sebagian lainnya berhubungan dengan hal-hal yang menjadi objek perwakilan. Semua ini harus dijelaskan dalam kontrak musyarakah.
- Hukum-hukum mengenai pekerjaan Dalam sebuah musyarakah dengan penyetoran modal, mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra harus melaksanakan kerja sebagai wakil dari musyarakah menurut kontrak musyarakah itu. Hal ini diatur oleh hukum-hukum fiqih, yang terpenting di antaranya:
- Modal yang tidak dijamin. Seorang mitra tidak bisa menjamin modal mitra lainnya, karena Musyarakah didasarkan prinsip alghurmu bil-ghunmi (hak untuk mendapat keuntungan berhubungan dengan risiko yang diterima). Tetapi seorang mitra dapat meminta mitra yang lain menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang disengaja.
- Kekuasaan perwakilan dan pengaturan. Seorang mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal. Musyarakah dengan pemberian modal (seperti dalam Al-Inan) menciptakan sebuah kesatuan dan segera setelah modal diberikan ia menjadi dana yang menyatu. Setiap mitra memberi wewenang mitra lainnya untuk mengatur aset dan ia dianggap diberi wewenang untuk menggunakan mereka dalam aktifitas Musyarakah jika ia melakukannya dengan memelihara kepentingan mitranya dan tanpa lalai dan kesalahan yang disengaja. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana itu untuk kepentingannya sendiri.
- Seorang mitra yang melaksanakan pekerjaan di luar wilayah tugas yang ia sepakati berhak mempekerjakan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, dan jika ia sendiri yang melakukan pekerjaan itu, ia berhak menerima upah yang sama dengan yang dibayar untuk kerja itu di tempat lain. Tetapi dibolehkan oleh beberapa ulama bahwa seorang mitra dapat mewakilkan kewenangan penuh kepada yang lain untuk melaksanakan bisnis dari musyarakah itu jika hal ini merupakan pengaturan yang paling memuaskan untuk musyarakah itu.
- Penunjukan pekerja. Seorang mitra dapat menunjuk pekerja untuk melaksanakan tugas-tugas yang berada di luar wilayah kerja perorangan mereka, dan ongkos dari pekerjaan itu akan ditanggung oleh musyarakah itu. Tetapi jika seorang mitra mempekerjakan seseorang untuk mengerjakan beberapa tugas yang pada awalnya diberikan kepadanya, ongkos yang timbul harus ditanggung olehnya karena kontrak musyarakah itu didasarkan pada modal (dana) dan pekerjaan, dan keuntungan yang didapatkan adalah hasil dari kedua unsur ini. Penunjukan pekerja adalah tergantung pada keperluan murni dari jasa mereka dan mereka harus menerima upah karenanya.
- Pinjaman, meminjamkan, hadiah dan sumbangan sosial. Mitra tidak boleh meminjam uang dengan atas nama musyarakah, atau meminjamkan uang kepada pihak ketiga dari modal musyarakah, menyumbang atau menghadiahkan uang kecuali sesudah membuat kesepakatan dengan mitra lainnya.
Hukum-hukum mengenai keuntungan
a. Hukum dasar keuntungan
Keuntungan harus dikuantifikasi. Jika tidak demikian hal ini akan melemahkan dasar berkontrak dari musyarakah yang mengarah kepada perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah. Jika para mitra mengatakan bahwa “keuntungan akan dibagi di antara kita”, maka dalam hal ini keuntungan akan dialokasikan menurut saham masing-masing dalam modal.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan proporsional dari seluruh keuntungan musyarakah. Tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra, karena jika hal ini terjadi bagi untung tidak akan terjadi dan dasar hukum musyarakah akan lemah. Seorang mitra dibolehkan mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau persentase itu diberikan kepadanya. Contohnya bila seorang dari mereka (mitra) mengatakan bahwa “saya akan mendapat sepuluh jika kita mendapatkan lebih dari itu” maka kontrak ini sah dan syarat-syaratnya akan mengikat karena tidak ada kesulitan yang dapat membatalkannya.
b. Hukum-hukum tentang alokasi keuntungan di antara para mitra.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah alokasi keuntungan di antara para mitra. Berikut ini adalah pendapat-pendapat tersebut secara singkat.
Pendapat pertama keuntungan harus dibagi di antara para mitra secara proporsional kepada modal yang disetorkan, tanpa memandang apakah jumlah kerja yang dilaksanakan oleh para mitra sama ataupun tidak sama.
Ini adalah pandangan Mazhab Maliki dan Syafii.
Argumentasi mereka didasarkan pada pandangan bahwa keuntungan adalah hasil modal. Karenanya ia harus proporsional. Perlakuan berbeda dalam bagi untung dengan kesamaan dalam pemberian modal mengarah kepada hasil dari jumlah yang belum dijanjikan.
Pendapat kedua Keuntungan dapat berbeda di antara para mitra jika mereka membuatnya sebagai syarat dalam kontrak.
Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan Hanbali.
Argumentasi mereka didasarkan pada pandangan bahwa keuntungan adalah buah dari interaksi antara modal dan kerja. Hal ini dikarenakan salah satu mitra mungkin lebih pengalaman, ahli dan teliti dari lainnya. Karenanya dibolehkan baginya untuk mensyaratkan bagi dirinya sendiri suatu bagian tambahan dari keuntungan sebagai ganti dari sumbangan kerja yang lebih banyak.
Mazhab Hanafi dan Hanbali mendukung argumentasi ini dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a.: “Keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka.”
Pendapat ini membantu dalam mempertimbangkan peran pengalaman, keahlian, jaringan dan efisiensi dalam mencapai keuntungan.
Berdasarkan pendapat kedua, keuntungan bersih yang diakui dapat dibagi menjadi dua bagian:
- Keuntungan dialokasikan menurut usaha para mitra dalam melakukan pekerjaannya.
- Keuntungan dialokasikan menurut bagian (saham) tiap mitra dalam total modal. Mengalokasikan bagian keuntungan yang sama kepada pihak ketiga juga dibolehkan jika para mitra sepakat untuk itu, misalnya bagian untuk fakir miskin atau organisasi kemanusiaan. Demikian juga mengalokasikan sebagian keuntungan sebagai cadangan untuk mendukung posisi masa depan dari musyarakah itu.
Hukum-hukum tentang Kerugian.
Para ulama sepakat bahwa kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalam modal. Mereka mendukung pendapat ini dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a.: “Keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka.”
Dalam hal musyarakah yang berkelanjutan (going concern) dibolehkan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa dikompensasikan dengan keuntungan pada masa-masa berikutnya.
Hukum-hukum tentang berhentinya Musyarakah.
Pada prinsipnya musyarakah akan berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak, atau meninggal, kompetensi hukumnya berhenti, atau modal musyarakah hilang/rugi.
Mayoritas ulama kecuali mazhab Maliki, berpendapat bahwa karena musyarakah adalah salah satu bentuk kontrak yang dibolehkan, maka tiap mitra berhak menghentikannya kapan saja ia inginkan, sama halnya dalam kontrak perwakilan. Musyarakah didasarkan atas perwakilan dan integritas. Setiap mitra adalah wakil bagi lainnya dan pimpinan (principal) pada saat yang sama. Ia bertindak berdasarkan sahamnya sebagai pimpinan (principal) dan berdasarkan saham mitranya ia bertindak sebagai wakil.
Pada prinsipnya perwakilan adalah salah satu kontrak yang secara sepakat dibolehkan oleh para ulama dan tidak ada pihak yang bisa dipaksa untuk meneruskan sesuatu yang bertentangan dengan kemauannya. Musyarakah juga harus dimulai dengan perwakilan hubungan di antara para mitra dan hubungan ini memberikan dasar untuk keberlangsungan. Jika hubungan perwakilan dirusak dengan penghentian bagian salah satu mitra, maka dasar hukum bagi mereka bertindak sesuai modal masing-masing akan hilang.
Ketika salah satu mitra meninggal, salah satu warisnya, jika ia sehat akal, dapat menggantikan posisi yang meninggal itu jika ahli waris lain dan mitra dalam musyarakahnya sepakat untuk itu. Hal ini berlaku juga jika salah satu mitra kehilangan kompetensi hukumnya.
APLIKASI DALAM PERBANKAN
- Pembiayaan Proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Seteleh proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank
- Modal Ventura Pada bank-bank yang dibolehkan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu bank melakukan divestasi baik secara singkat maupun bertahap.