Tidak mudah bagi sebahagian besar orang untuk meninggalkan pekerjaan yang telah mapan untuk sebuah idealisme agama. Sungguh suatu hidayah yang besar dari Allah ketika sahabat terbaik saya meninggalkan pekerjaannya yang telah mapan di sebuah bank konvensional. Tidak sederhana apalagi bagi seorang yang telah berkeluarga dan memiliki 2 (dua) orang anak. Ketika saya tanya mengapa dia berani mengambil keputusan itu? dengan tenang dia berucap ingin meninggalkan praktek riba. Luar Biasa ! kekokohan dalam beragama yang mungkin saya sendiri pun belum tentu sanggup.
Cermati hadits berikut ini :
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).
Untuk yang ingin mengetahui jenis transasksi yang dilarang dalam islam bisa dilihat disini
http://ekonomi-islam.com/transaksi-yang-dilarang-dalam-islam/
Lain lagi mantan mahasiswa saya, yang saya nilai lumayan sukses secara finasial. Di usianya yang belum genap 30 tahun dia telah mampu memiliki 2 buah rumah pribadi, 1 unit mobil baru hasil dari beberapa unit usaha yang dijalankannya. Ketika traning-training kewirausahaan di kampus, beliau sering saya ajukan sebagai model businessman muda sukses sebagai inspirator bagi adik – adiknya mahasiswanya.
Namun alangkah terkejutnya saya ketika beberapa waktu yang lalu saya menelponnya. Dia menceritakan usahanya mengalami kemunduran yang berujung menjual asset asset yang dimilikinya. Saya tanya mengapa bisa begini ? dengan tabah dia berujar, “banyak hal pak, tapi kesimpulan saya karena saya meminjam uang dari Bank, (baca : uang Riba) untuk membangun bisnis ini”.
Saya bersyukur mereka yang menjadi bahan inspirasi kita pada hari ini diingatkan Allah diusia yang masih relatif sangat muda. Sekarang keduanya memilih untuk menekuni bisnis, memulai usaha dan tentunya tanpa menggunakan Uang Riba, Insya Allah.
Kedua cerita ini bukan seperti cerita Ustadz Yusuf Mansur dalam kejaiban sedekah, cerita yang akhirnya happy ending. Cerita ini sedang berjalan, jauh disana mereka yang ingin terlepas dari Riba lagi berjuang membuktikan keimanan mereka kepada Allah. Saya dan anda yang membaca tulisan ini akan menjadi saksi keistiqomah mereka yang berjuang terlepas dari praktek Riba . Mungkin 1 tahun atau mungkin 5 tahun lagi hanya Allah lah yang maha mengetahui ending ceritanya.
Tulisan ini tidak akan membahas keajaiban keluar dari Praktek Riba, pada hari ini saya akan membahas logika dibalik pengharaman bunga Bank.
Bagi yang mengikuti tulisan ini sebelumnya tentu telah mengetahui bagaimana tahapan pengharaman bunga dalam sistem perekonomian. Bagi sebahagian orang cukup dengan perintah Allah dan rasulnya saja sudah cukup untuk sebagai alarm untuk berhenti. Namun mungkin ada sebahagian orang yang butuh dalil dalil Akal, mengapa Allah mengharamkan Riba. Apa hikmah dibalik pelarangan Riba.
Praktik Bunga tidak hanya terjadi di bank konvensional, namun juga diseluruh lembaga keuangan lainnya misalnya saja yang sederhana seperti koperasi karyawan. Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mencoba menggambarkan praktik tersebut. Qardhawi berpendapat, bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta. Bagaimana operasionalnya ?
Jika anda meminjam untuk usaha di bank atau koperasi maka kita akan dihadapkan pada bunga tertentu, misalnya 15 % pertahun. Apa artinya ? Bank atau lembaga keuangan mewajibkan kita harus UNTUNG.
Ketika kita meminjam Rp.100 juta dengan Bunga 15% pertahun artinya Bank atau lembaga keuangan mewajibkan kita mesti mendapatkan keuntungan setidak tidaknya 115 %. Karena jika meminjam Rp. 100 juta kita mesti mengembalikan 115 juta rupiah.
Pertanyaannya ? Apakah kita sudah pasti UNTUNG ? Atau jika pun usaha kita Untung, dapatkah kita tingkat keuntungan yang dipersyaratkan oleh Bank atau lembaga keuangan lainnya ?
Mengapa Bank mewajibkan kita MESTI UNTUNG ?
Karena ketika kita menabungkan dana kita pun melakukan hal yang sama. Lho maksudnya bagimana ?
Ketika kita menabungkan kita pun mewajibkan bank mesti untung. bahkan kita mencari cari Bank yang bisa memeberikan bunga yang tinngi. Akibatnya Bankpun memberikan garansi jika menabung, kita akan mendapatkan keuntungan bunga 3 % pertahun misalnya.
Inilah prosesnya, Mengapa bank ketika anda meminjam untuk usaha dikenakan bunga ? yang artinya Bank sudah mematok anda harus untung dan membayar lebih, adalah karena Bank sudah keburu janji jika ada yang menabung di tempatnya mereka akan bayar lebih dari pokoknya.
Sekarang anda lebih faham bagaimana tidak sehatnya sistem perbankan itu. Bank menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Dalam istilah agama disebut dengan GHARAR. Inilah yang menyebabkan praktek riba terlarang dalam agama. Siapa kah yang mengetahui masa depan ? tidak ada !. Jadi bagaimana mungkin kita bisa menjanjikan sesuatu yang belum pasti, seolah olah itu pasti terjadi ?!
Jika ingin jelas defenisi tentang GHARAR bisa baca di http://ekonomi-islam.com/pengertian-ekonomi-islam/
Sumber Keuntungan Bank
Dari manakah Bank memperoleh keuntungan ? yaitu tentu dari memutar uang nasabah. Sebagai contoh jika ada yang menabung mereka memberikan janji akan membayar lebih 3% sedangkan jika ada yang meminjam dana maka Bank mewajibkan si peminjam untuk membayar lebih 15%.
Inilah yang disebut dengan positif spread. Yaitu selisih positif antara Bunga pinjaman dengan bunga tabungan. Dengan contoh diatas maka setiap Rp. 1 yang ditabung di bank, maka bank akan mendapat keuntungan 15 % – 3 % = 12 % pertahun .
Bagaimana jika terjadi kondisi sebaliknya. Bunga tabungan lebih tinggi dari bunga pinjaman. Kondisi ini pernah terjadi di tahun 1998. Ketika bank mengalami kekeringan liquiditas (kehabisan uang) akibat aksi rush money yang terjadi pada periode 1997 – 1998. Bank terpaksa melakukan tindakan luar biasa dengan cara menaikkan bunga tabungan dan deposito hingga 60 %. Tujuannya supaya dana masyarakat yang tadi ditarik bisa masuk lagi kedalam Bank yang sudah kekeringan dana ini. Sementara itu bunga pinjaman tidak bisa lebih dari 60 %, siapa juga pengusaha yang sanggup untuk membayar jika meminjam Rp. 100 juta kemudian harus mengembalikan Rp.160 juta.
Inilah yang disebut dengan negatif spread, yaitu selisih negatif antara bunga pinjaman dengan bunga tabungan. Dengan contoh diatas maka setiap Rp. 1 yang ditabung di Bank,maka Bank akan menderita kerugian 15 % – 60 % = -45 %. Inilah yang membuat bank bank pada saat itu banyak yang bangkrut.
Inilah Salah satu sebab dari krisis moneter pada tahun 1998 lalu merupakan dampak dari kondisi di atas. Tak mampunya debitur melunasi utangnya (karena terpuruknya perekonomian) membuat kredit macet di banyak bank. Bank tidak mampu melunasi kewajibannya kepada nasabah akibat Rush Money yang tidak tidak terkendali. Dan akhirnya, kita pun berutang pada IMF yang nota- bene membungakana pinjamannya pula.
Bagaimana dengan Bank Syariah
Bank syariah dalam aqadnya menggunakan sistem BAGI HASIL .
Bagaimana praktek BAGI HASIL itu (seharusnya) ?
Bank akan memberikan hasil kepada para penabung jika usaha yang dikelolanya berhasil dan begitu pula sebaliknya, Bank akan meminta bagian kepada si peminjam jika usaha yang dijalankan si peminjam berhasil.
Karena itulah disebut sebagai sistem BAGI HASIL. Apapun HASILnya maka itulah yang dibagi. Banyak keuntungan banyak pula yang harus dibagi sedikit keuntungan maka sedikit pula yang dibagi. Bahkan jika usahanya merugi maka kerugian mestilah ditanggung bersama (tergantung aqadnya).
Karena itu di Bank Syariah kita kenal sistem NISBAH, yaitu tingkat pembagian keuntungan yang harus dibagi antara penabung dengan bank syariah dan antara Bank Syariah dengan peminjam. Biasanya ada 40 % – 60 % , ada juga 45% – 55% . Tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak .
Jika praktek bank syariah dilakukan secara murni syariah, maka tidak akan pernah Bank syariah akan mengalami kebangkrutan Insya Allah. Karena yang dibagi dan didistribusikan adalah hasil dari USAHA.
Sebagai penutup hadits ini bisa jadi renungan kita bersama :
“Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah.” (HR Hakim)1
Sebagaimana kata-kata hikmah mengatakan, “Orang berakal itu bukanlah orang yang pandai mencari-cari alasan untuk membenarkan kejelekannya setelah terjatuh kedalamnya, tetapi orang berakal ialah orang yang pandai menyiasati kejelekan agar tidak terjatuh ke dalamnya.”
Viva ekonomi syariah .
0 comment
[…] Tergolong Riba , karena menjanjikan investasi dengan keuntungan yang tetap padahal sejatinya investasi tidak bisa ditentukan/dijanjikan untung atau ruginya. Argumennya bisa dilihat disini . http://ekonomi-islam.com/logika-dibalik-pengharaman-bunga-bank/ […]
[…] Investasi dalam islam tidak bisa ditentukan keuntungannya. Jika keuntungan bisa ditentukan bisa dipastikan itu investasi yang keliru, misalnya ada sebuah investasi yang memberikan jaminan keuntungan 5% perbulan. Investasi seperti inilah yang bisa dikategorikan sebagai riba. Karena siapakah yang bisa mengetahui masa depan ? . Bahkan yang terjadi adalah saling merugikan antara investor dan pihak perusahaan pengelola dana karena menjanjikan sesuatu yang tidak pasti. Bagaimana prosesnya anda bisa baca tulisan saya sebelumnya : http://ekonomi-islam.com/logika-dibalik-pengharaman-bunga-bank/ […]