ISLAM ” WAY OF LIFE “
- PENDAHULUAN
Suatu hal yang sangat disesalkan bahwa sampai dewasa ini masih terdapat beberapa kalangan yang melihat Islam sebagai hambatan dalam pembangunan. (an Obstacle to economic growth). Pandangan ini sungguhpun berasal dari para pemikir Barat namun tidak sedikit juga intelektual muslim yang meyakininya.
Hampir dapat dipastikan kesimpulan yang agak tergesa-gesa ini timbul sebagai akibat dari salah pandang terhadap Islam sebagai suatu agama yang terisolir oleh masalah-masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya pembangunan ekonomi dan industri perbankan sebagai salah satu motor penggeraknya.
- ISLAM SEBAGAI SUATU SISTEM
Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan amanah dari Allah kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan ummat manusia.
Untuk mencapai tujuan yang suci ini Allah tidak meninggalkan manusia sendirian tetapi diberikannyalah petunjuk melalui para RasulNya. Dalam petunjuk ini Allah berikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlaq maupun syariah.
Dua komponen yang pertama aqidah dan akhlaq sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Adapun komponen yang terakhir “syariah” senantiasa berubah sesuai kebutuhan dan taraf peradaban ummat, dimana seorang Rasul diutus. Kenyataan ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam suatu hadits yang maknanya : Saya dan Rasul-rasul yang lain tak ubahnya bagaikan saudara sepupu, syariat mereka banyak tetapi agama (aqidah)nya satu (yaitu mentauhidkan Allah)
Melihat kenyataan ini Syariah Islam sebagai suatu syariat yang dibawa oleh Rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri, ia bukan saja komprehensif tetapi juga universal. Sifat-sifat istimewa ini mutlak diperlukan sebab tidak akan ada syariat lain yang datang untuk menyempurnakannnya.
Komprehensif berarti ia merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual (ibadat) maupun sosial (muamalah). Ibadah diperlukan dengan tujuan untuk menjaga ketaatan, dan harmonisnya hubungan antara manusia dengan Khaliqnya, serta untuk mengingatkan secara kontinyu tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Ketentuan-ketentuan muamalah diturunkan untuk menjadi rules of game dalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Kelengkapan sistem muamalah nabi terakhir ini, dapat kita rangkumkan dalam skema berikut (lihat gambar di halaman 3).
Universal, bermakna ia dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir nanti. Keuniversalan ini akan tampak jelas sekjali terutama dalam bidang muamalah, dimana Ia bukan saja luas dan fleksibel bahkan tidak memberikan special treatment bagi muslim dan membedakannya dari non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali “lahum maa lana wa alaihim maa alaina” yang artinya dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita.
Sifat eternal muamalah ini dimungkinkan karena adanya apa yang dinamakan thawabit wa mutaghoyyirat (prinsip dan variabel) dalam Islam.
Kalau kita ambil sektor ekonomi sebagai contoh prinsip dapat dicontohkan dengan ketentuan-ketentuan dasar ekonomi seperti larangan riba, adanya prinsip bagi hasil, prinsip pengambilan keuntungan, pengenaan zakat dan lain-lain. Variabel merupakan instrumen-instrumen untuk melaksanakan prinsip-prinsip tadi seperti mudharabah , murabahah, bai bithaman ajil dan sebagainya. Di sinilah letak tugas para cendekiawan muslim sepanjang zaman untuk “mengembangkan teknik penerapan” prinsip-prinsip tadi dalam variabel-variabel sesuai dengan situasi dan kondisi semasa.
Gambar di atas memperlihatkan gambaran umum tentang sistem ekonomi Islam. Secara garis besar sistem ini dapat dibagi menjadi 3 sektor besar (1) public sector (2) private sector) (3) social welfare sector. Bila diamati lebih sekasma masing-masing dari 3 sektor di atas mempunyai fungsi, institusi dan landasan syariah tersendiri.