Oleh Ir Luthfi Hidayat*
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara bathil” (QS An Nisaa’ 29)
Harta hasil korupsi, kolusi, suap menyuap, dan manupulasi merupakan harta milik negara yang harus dikembalikan seluruhnya demi kepentingan umat. Seorang individu atau kelompok masyarakat; apakah dari kalangan penguasa atau rakyat tidak punya hak sedikit pun atas harta tersebut. Apalagi bagi seorang pelaku tindak kriminal tersebut. Suatu ketidakadilan yang sangat jelas kalau seseorang yang mengeruk harta umat dengan cara haram demikian kemudian mendapat bagian yang nyata-nyata bukan hak miliknya.
Seorang pelaku korupsi dan kolusi hakikatnya bukan hanya sekedar merampas hak milik umat. Tindakan tersebut juga merupakan perkara kriminal yang menyengsarakan rakyat sehingga selayaknya diberi sanksi. Allah SWT melaknat pelaku tidak korupsi, kolusi, manipulasi dan pemerasan lainnya. Korupsi dan kolusi merupakan tindakan perampokan dan perampasan terhadap harta orang banyak yang pelakunya harus mendapat hukuman berat. Karenaya, di mana letak suatu keadilan, seandainya harta umat tersebut kemudian dibagi dengan sang koruptor. Yang lebih berbahaya lagi, tindakan yang tidak adil demikian justru akan bepengaruh buruk terhadap kondisi fisikologi masyarakat. Mustahil berbagai tindakan kriminal demikian tereliminasi tuntas dalam kehidupan bernegara kalau solusinya sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan.
Memperoleh harta dengan cara-cara yang diharamkan –termasuk dengan cara yang zhalim– kelak di hari kiamat akan menjadi kegelapan.
Rasulullah saw mengingatkan kita dengan sabdanya: “Seseorang tidak dihalalkan mengmbil harta saudaranya tanpa hak, karena Allah telah mengharamkan harta seorang muslim (yang diambil tanpa hak) oleh sesama muslim (HR Abu Hamid As-Sa’idiy).
Dalam riwayat Ahmad dan Bukhari beliau bersabda: “Barang siapa mengambil sejengkal tanah tanpa hak (merebut dengan zalim), pada hari kiamat dia akan dibenamkan ke dalam (tujuh) lapis bumi.
Dalam kehidupan kaum muslimin, harta milik umat yang diambil oleh seseorang secara tidak sah, harus dikembalikan seluruhnya ke Baiutul-Mal dan dipergunakan untuk kepentingan seluruh umat. ‘Umar bin Abdul ‘Aziz setelah ia diangkat sebagai Khalifah melakukan hal yang demikian. Ia menyerahkan pada Baitul-Mal seluruh harta benda, tanah garapan dan kekayaan lainnya milik masyarakat yang dikuasai oleh orang-orang Bani Umayah dengan jalan kezaliman; kecuali kekayaan yang diketahui pemiliknya, ia dikembalikan kepadanya.
Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz mencabut semua tanah garapan, hak istimewa Bani Umayah yang mereka peroleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Khalifah memulai dari dirinya sendiri. Ia melepaskan haknya atas seluruh hartanya, semua miliknya, sampai minyak wangi simpanannya. Semua itu dijual dengan harga 23.000 dinar, kemudian diserahkan kepada Baitul Mal. Tidak hanya di situ, beliau kemudian menoleh kepada istrinya. lalu berbicara mengenai berbagai macam permata yang diwarisi istrinya dari ayahnya.
‘Umar berkata: “Plilihlah, engkau mengembalikan perhiasanmu ke Baitul Mal, atau izinkan aku berpisah denganmu”. Istrinya menyahut: “Ya Amirul Mu’minin, tidak..Seandainya aku punya perhiasan berlipat ganda, aku tetap memilih anda.”Kemudian ‘Umar memerintahkan orang supaya membawa semua perhiasan istrinya kepada Baitul-Mal. Ke arah pribadi pemimpin semisal ‘Umar bin ‘Abdul Aziz selayaknya kita semua bermuara