Definisi Riba
Riba menurut bahasa berarti tambahan[1]. Sedangkan menurut syara’, arti riba adalah tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjamkan (barang atau uang) dengan tempo atau batas waktu[2]. Menurut Ali bin Muhammad ad Durjani[3], riba adalah tambahan yang tidak menjadikan imbalan sebagai sesuatu yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam dan yang memberi pinjaman.
Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu sempit. Istilah yang lebih baik dikemukakan oleh Syaikh Abdurrahman Taj[4] yang mengatakan bahwa riba adalah setiap tambahan yang berlangsung pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’awwadhah tanpa mendapat imbalan; atau tambahan itu diperoleh karena penangguhan.
Pada awalnya orang-orang mengenal riba hanya dua macam, yaitu riba nasiah dan riba fadhal[5]. Akan tetapi menurut para ulama pengikut Imam Syafi’I, terdiri atas tiga macam, yaitu riba fadhal yang di dalamnya termasuk riba qardh, riba nasiah, dan riba yad[6]. Karena itu, kita kemudian mengenal berbagai bentuk riba yang tercakup dalam empat kategori[7]:
Riba Nasiah, adalah praktek riba memberikan hutangan kepada orang lain dengan tempo yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya sebagai tambahan atau sanksi.
Riba Fadhal adalah praktek riba dalam bentuk menukarkan barang yang sejenis tetapi tidak sama keadaannya atau menukar barang yang sejenis tetapi saling berbeda nilainya.
Riba Qardh adalah praktek riba dengan cara meminjamkan uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi uang.
Riba Yadd adalah praktek riba yang dilakukan oleh pihak peminjam yang meminjamkan uang/barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima barang (aqad timbang terima). Munculnya riba dalam keadaan ini adalah karena dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan.
Riba dan Bagaimana Terjadinya?
Riba nasiah lebih terkenal dengan sebutan riba jahiliyah, dimana seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan setiap bulan diambil tambahan tertentu jika melewati batas/tempo yang telah disepakati[8].
Mengenai istilah ‘riba jahiliyah’, hal tersebut telah disinggung pada khutbah Rasulullah SAW pada saat Hajjatul Wada[9]:
“…dan sesungguhnya riba jahiliyah itu dihapuskan, dan bahwasanya riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba pamanku Abbas bin Abdul Muthallib…”
Adapun hadits yang menyinggung riba fadhal, diriwiyatkan dari Abu Sa’id bahwasanya Rasululah bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam, sama-sama dari tangan ke tangan. Siapa saja yang menambahkan atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat riba” (HR Bukhari dan Ahmad).
Tentang riba qardl, maka kita mengenal kaedah fiqih yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu[10]:
“Setiap bentuk qardl (pinjaman) yang menarik manfaat (membuahkan bunga) adalah riba”.
Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan uang di balik pinajaman adalah termasuk praktek riba, dan hal tersebut telah dilarang oleh Syari’at Islam.
Mengenai riba Yadd telah diriwayatkan bahwasanya Malik bin Aus bin Hadtsan mencari-cari orang yang dapat menukar uangnya 100 dinar, lalu datang Talhah. Talhah menjelaskan ciri-ciri barangnya, sampai kemudian Malik mau menerimanya. Tatkala Talhah mengambil uangnya (penukar 100 dinar) ia berkata[11]:
“Tunggu sampai orang yang membawa uangku (bendaharaku) datang dari Al Ghaba (mana tempat dekat Madinah)”.
Peristiwa kemudian didengar Umar. Ia lalu berkata:
“Tidak, demi Allah, jangan beranjak dari sini sampai ia mengambil pembayarannya. Sebab, Rasulullah SAW telah bersabda:
“Emas dengan perak adalah riba, kecuali langsung terjadi serah terima. Gandum dengan gandum adalah riba, kecuali langsung terjadi serah terima, kurma dengan kurma adalah riba, kecuali langsung terjadi serah terima. Sya’ir dengan sya’ir adalah riba, kecuali langsung terjadi serah terima”.
Peristiwa di atas menunjukkan bahwa tukar menukar antar haruslah dilakukan saat itu juga. Pengunduran waktu pada saat serah terima dari salah satu pihak dapat menyebabkan seseorang melakukan perbuatan riba.
Berdasarkan pengertian beberapa macam istilah riba ini, maka dalam praktek perekonomian dewasa ini banyak sekali aktifitas perekonomian yang masuk ke dalam salah satu kategori perbuatan riba, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan aktifitas ekonomi,perdagangan dan keuangan yang meningkat dengan pesat. Melihat keadaan sekarang itu, kita diingatkan oleh sabda Rasulullah SAW:
“Riba itu mempunyai 73 macam…” (HR Ibnu Majah dan Al Hakim, dari Ibnu Mas’ud dengan sanad shahih).
Dalam hadits lain Rasulullah mengisyaratkan bahwa akan muncul sekelompok manusia yang menghalalkan riba dengan dalih “bisnis”[12]
“Akan datang suatu saat nanti kepada umat ini tatkala orang-orang menghalalkan riba dengan dalih: bisnis” (HR Ibnu Bathah dari Al Auza’I).
Ringkasnya, dengan melihat perkembangan perekonomian yang tumbuh dengan cepat, maka definisi mengenai riba harus mencakup seluruh bentuk riba,
baik yang ada di masa Jahiliah (seperti riba nasi’ah, riba fadhal, riba qardl dan riba yadd) maupun riba yang ada sekarang, seperti riba bank yang di dalamnya termasuk bunga dalam pinjaman/kredit, infestasi, deposito, jual beli surat berharga, agio saham, penundaan dari salah satu pihak yang beraqad dalam pertukaran mata uang maupun pengalihan rekening antar bank dan sebagainya. Jadi riba adalah tambahan dalam aqad dari salah satu pihak, baik dari segi uang, materi/barang, waktu maupun persyaratan lainnya tanpa ada usaha apapun dari pihak yang menerima tambahan tersebut.
Hukum Riba dan Tanggapan Atas Reaksi Yang Menghalalkannya
Al Qur’an telah menyinggung masalah riba dalam beberapa ayatnya, sebagaimana diketahui bahwa pengharaman riba saat itu didahului beberapa ayat yang menunjukkan kekejian riba, ancaman, dan akibat yang telah menimpa orang-orang Yahudi pada waktu yang lalu karena mereka sering mengambil riba dalam aktifitas perdagangan dan hutang-piutang. Karenanya diturunkan satu ayat yang mengharamkan riba yang sifatnya berlipat ganda saja, sampai kemudian turun ayat yang terakhir yang mengharamkan segala jenis bentuk riba, besar maupun kecil, berlipat ganda ataupun tidak.
Ayat pertama yang diturunkan tentang riba adalah firman Allah SWT:
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, maka yang demikian itu tidak (berarti) bisa menambah di sisi Allah…” (QS Ar Ruum:39)
Ayat ini diturunkan di Makkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai haramnya riba. Yang ada hanyalah isyarat kebencian Allah SWT terhadap riba, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktifitas riba.
Sedangkan ayat yang kedua adalah firman Allah SWT tentang tindakan Bani Israil (salah satunya praktek riba mereka) yang menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut:
“Maka lantaran kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka beberapa jenis makanan yang baik-baik yang sedianya dihalalkan kepada mereka. Lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba padahal mereka telah dilarangnya”. (QS An Nisa 160-161)
Ayat ini turun di Madinah kira-kira sebelum perang Quraidzah yang terjadi pada tahun 5 H, atau sebelum perang Bani An Nadlir pada tahun 4 H. Ayat tersebut menceritakan kepaada kita sebuah kisah berbentuk pelajaran tentang tingkah laku orang-orang Yahudi yang melanggar larangan Allah SWT dengan melakukan praktek-praktek riba. Sebab, walaupun di dalam ayat tersebut hanyalah menceritakan tentang syari’at Bani Israil dan hanya menunjukkan bagaimana perilaku orang-orang Yahudi yang dilaknat Allah SWT.
Adapun ayat yang ketiga adalah
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda…” (QS Ali Imran 130).
Ayat ini diturunkan di Madinah dan mengandung larangan tegas mengharamkan salah satu jenis praktik riba (yaitu riba nasiah). Namun demikian, larangan dalam ayat tersebutmasih bersifat sebagian, belum menyeluruh. Pengharaman riba pada ayat tersebut hanya berlaku bagi praktek riba yang keji dan jahat, yang bentuknya membungakan uang dengan berlipat ganda.
Ayat mengenai riba yang terakhir (ke 4 ) diturunkan adalah:
“Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman…” (Al Baqarah 278)
Dengan turunnya ayat ini, maka riba telah diharamkan secara menyeluruh, tidak lagi membedakan banyak maupun sedikit. Ayat ini dan tiga ayat riba berikutnya sekaligus merupakan ayat tentang hukum yang terakhir dan pemutus hubungan antara bumi dengan langit.
Bagi kaum muslimin saat ini, yang hidup setelah Rasulullah SAW meninggalkan kita, maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah manasakhkan hukum riba pada ayat-ayat sebelumnya. Juga ayat di atas tadi menjelaskna bahwasanya riba telah diharamkan dalam segala bentuknya[13]. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keharamannya. Sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan kitab Allah, sunnah rasul-Nya, dan ijma kaum muslimin, termasuk madzhab yang empat[14]. Tentang keharaman riba, tidak ada perbedaan diantara pelakunya, apakah ia seorang laki-laki, perempuan, budak, maupun mukatib; semuanya sama[15]. Hal ini telah dimaklumi oleh kaum muslimin sejak kurun waktu yang pertama, dan mereka memasukkan praktek riba ke dalam dosa/kemaksiatan yang besar[16] yang pelakunya akan mendapatkan adzab yang tak terbayangkan pedihnya di akhirat.
Memang pada akhir-akhir ini muncul segolongan kaum muslimin yang membolehkan praktek-praktek riba, khususnya tentang bunga bank (interest). Pada saat ini, praktek riba tersebut telah sangat membudaya di masyarakat. Mereka membolehkan bentuk muamalah tersebut dengan alasan darurat, dan mengungkapkan bahwa pada saat ini ummat tidak akan dapat melakukan aktifitas ekonomi tanpa terkait dengan bunga bank. Jadi tidak ada jalan lain kecuali membolehkan praktek semacam itu.
Alasan seperti ini tampaknya alasan klise untuk menjustifikasi apa yang telah mereka lakukan.
Lagi pula terminologi DARURAT dalam sayari’at Islam seseungguhnya adalah seperti yang dikemukakan oleh Imam Suyuti[17]: “Sampainya seseorang pada batas suatu keadaan yang jika orang tersebut tidak melakukan hal-hal yang dilarang, maka ia akan mati binasa (rusak atau mati) atau mendekati keadaan itu”.
Dari keterangan tersebut, muncullah pertanyaan apakah keadaan saat ini sudah sampai kepada situasi dan kondisi seperti itu? Kalau misalnya asumsi darurat dapat diterima, maka tentu saja yang namanya darurat itu ada batas dan masanya, tidak akan berlaku selamanya. Tetapi apakah bila ada seseorang seseorang kelaparan, kemudian dia tidak mendapatkna jalan lain kecuali dengan meminjam uang dengan ketentuan riba, maka ia dibolehkan membayar bunga uang sampai penderitaannya hilang (berlalu)?
Justifikasi dan alasan yang demikian tidaklah dapat diterima walaupun itu untuk kebutuhan sekunder selain dari makanan dan minuman. Namun alasan itulah yang dijadikan dalih buatan oleh segolongan ummat yang menghalalkan praktek riba. Tentu saja alasan tersebut tidak bisa diterima.
Sebagian kaum muslimin yang imannya lemah berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba keji yang menarik bunga sangat tinggi dan dapat mencekik leher manusia. Adapun riba yang sedikit menurut mereka tidaklah haram.
Sandaran yang mereka jadikan alasan adalah Qur’an Surat (QS) Ali Imran ayat 130[18].
Padahal lafadz “adl ‘afan mudla ‘afah” (berlipat ganda) di dalam Al Qur’an sesungguhnya berfungsi sebagai waqi’atul ‘ain, yaitu suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di masa jahiliyyah dan menunjukkan betapa jahatnya perbuatan yang mereka lakukan itu[19].
Bagi mereka yang masih awam tentang agama dan tidak mau mengerti mengenai hukum Islam, kita boleh bertanya: berimankah mereka kepada seluruh ayat Al Qur’an? Apakah mereka mengingkari terhadap sebagaian ayat dan beriman terhadap sebagia yang lain? Mengapa justru ayat itu yang dipakai, bukan QS Al Baqarah 275 dan 278, yang telah menghapus hukum riba yang telah diturunkan sebelumnya?
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al Baqarah 275)
“…”takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba…” (QS Al Baqarah 278)
[1] Lihat Tafsir Ath Thabari jilid I, halaman 388; Tafsir Qurthubi Jilid I, halaman 348; Imam Asy Syaukani, Fathul Qadiir Jilid I, halaman 294; Muhammad Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat Ahkaam Jilid I, halaman 421; dan Muhammad Ali As Sais, Tafsir Ayat Al Ahkaam halaman 162.
[2] Tafsir Muhammad Ali Ash Shabuni, ayat Ahkaam Jilid I, halaman 421
[3] Ali ibn Muhammad ad Durjani, At-ta’rifat, halaman 97
[4] Abdurrahman Taj, dalam sejarah Alliwaa Al Islam Edisi II/1952
[5] Lihat Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir Jilid I, halaman 294; Muhammad Ali As Sais, Tafsir Ayat Ahkaam halaman 162
[6] Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Madzhaabil Arba’ah Jilid III, halaman 202
[7] Lihat Dr. Shadiq SE dan H. Shalaahuddin Chaeri, Kamus Istilah Agama halaman 291
[8] Lihat Muhammad Ali As Sais, Tafsir Ayat Al Ahkaam halaman 162
[9] Lihat Muhammad Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat Al Ahkaam Jilid I, halaman 418
[10] Lihat Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah (terjemahan) Jilid XII, halaman 113
[11] Lihat Ibnu Qudaamah, Al Mughni Jilid IV, halaman 13
[12] Lihat Ibnul Qayyim Al Jauzi. “Ighatsatu Al Lahfan” Jilid I, halaman 352
[13] lihat Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, halaman 330; “Shafwatut Tafasir” juz III, halaman 174; Muhammad Ali Ash Shabuni, “Tafsir Ayat Al Ahkam” jilid I, halaman 429; dan Muhammad Ali Ash Shabuni, “Tafsir ayat Al Ahkam 166.
[14] Lihat Abdurrahman Al jazairi, Al Fiqh ‘Ala Madzaahabil Arba’ah jilid III, halaman 202 dan 204.
[15] Lihat “Al Majmu” jilid IX, halaman 442
[16] lihat Tafisr Al Qurthubi” jilid I, halaman 364
[17] lihat Imam As Suyuthi, “Asybah An Nadhair” halaman 61
[18] lihat wahbah Az Zukhaili, “Nadhariah Adh Dharurah Asy Syar’iyyah”, halaman 68, 240
[19] lihat Muhammad Ali Ash Shabuni, “Tafsir Ayat Al Ahkam” jilid I, halaman 430-431