Ketidakberdayaan rupiah di hadapan dolar AS dan juga mata uang utama dunia lainnya, yang berdampak juga terhadap pasar bursa (bursa saham) yang anjlok hingga level 339,536 poin, terendah sejak tahun 1989, merupakan akibat pelaksanaan sistem ekonomi Kapitalis selama ini. Yang mengherankan masyarakat awam, badai krisis ekonomi ini dalam waktu yang bersamaan menimpa hampir semua negara Asia Tenggara dan Timur Jauh, termasuk Korea Selatan dan Taiwan yang dikenal sebagai negara-negara macan Asia!
Rumitnya mengurai sebab-sebab munculnya krisis ini dan belum dapat dipecahkannya problem ekonomi ini di tengah-tengah masyarakat, serta komentar para pengamat ekonomi yang menambah kebingungan masyarakat, menambah kompleksitas krisis ini.
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan sebab-sebab jatuhnya mata uang berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan Timur Jauh termasuk anjloknya harga saham di pasar-pasar bursa yang melanda kawasan itu, termasuk Indonesia, serta solusinya yang tepat. Juga bagaimana hukum Islam tentang masalah ini serta apa yang harus dilakukan oleh umat Islam menghadapi krisis semacam ini.
SEBAB-SEBAB JATUHNYA PASAR UANG DAN BURSA
Sejak ambruknya pasar-pasar bursa dunia pada tahun 1929 hingga pertengahan tahun 30-an, yang diikuti masa resesi ekonomi yang berkepanjangan (berujung dengan perang dunia I dan II), dunia dikejutkan lagi dengan peristiwa serupa berupa jatuhnya saham di NYSE (New York Stock Exchange) hingga 22% hanya dalam satu hari pada akhir Oktober 1997 lalu, menyusul terpuruknya saham di bursa-bursa dunia lainnya, baik Hongkong, Tokyo, Taiwan, Singapura, dan lain-lain. Bayang-bayang resesi pun berkembang dan berbagai teori-teori ekonomi berguguran, karena ketidakmampuan menjelaskan dan menanggulangi fenomena seperti ini.
Sesungguhnya sebab-sebab jatuhnya pasar uang dan bursa dunia terutama kawasan Timur Jauh, tidak terlepas dari konsekwensi logis dan ciri khas sistem Kapitalis yang dianut oleh hampir seluruh negara-negara di dunia, termasuk di negeri-negeri kaum muslimin.
Sejak dicetuskannya istilah perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi, maka banyak negara-negara besar Barat, termasuk para investor asing kelas kakap mereka yang ingin menginvestasikan modal di negara-negara lain. Kehendak tersebut berjalan lancar setelah para penguasa di negeri-negeri Islam menyambut (well come) ajakan negara Barat yang dipelopori Amerika melalui badan-badan dunia seperti WTO, IMF, Bank Dunia maupun persetujuan-persetujuan yang direkomendasikan di dalam GATT. Akibatnya banyak arus investasi asing (Barat) masuk ke negeri-negeri Islam.
Fenomena ini, di satu sisi akan memacu roda ekonomi di suatu negeri karena perputaran modal yang meningkat (disebabkan investasi asing), namun di sisi lain amatlah riskan karena pilar ekonomi negara tersebut bersandar pada tiang milik orang lain yang sewaktu-waktu dapat ditarik oleh pemiliknya kapanpun mereka menghendakinya. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa negara-negara miskin (yang notabene negeri-negeri Islam) amat tergantung perputaran ekonominya dengan arus modal investasi dari luar. Dan untuk memperoleh hal itu diciptakanlah kondisi-kondisi dan peraturan yang merangsang penanaman modal asing, seperti prosentasi saham yang 100 % boleh dimiliki oleh orang/ lembaga/negara asing, hak sewa atas tanah lebih dari 50 tahun, “keunggulan komparatif” dari rendahnya upah buruh maupun bahan mentah di negeri-negeri Islam, hingga ke jaminan stabilitas politik yang dijanjikan kepada para investor asing.
Pada saat yang sama para investor luar pun menanamkan modalnya berdasarkan prinsip-prinsip bisnis ekonomi kapitalis, yang menghendaki keuntungan secara cepat, tanpa mengindahkan aturan main dalam etika ekonomi. Artinya jika terdapat kondisi lain yang menguntungkan, mereka kapan saja dapat menarik modalnya dari suatu negeri ke negeri lain yang lebih menguntungkan. Atau jika tidak terdapat lagi iklim investasi yang menguntungkan, mereka akan bersikap pasif. Mereka lebih memilih menginvestasikan modalnya pada transaksi ekonomi yang menguntungkan secara cepat, seperti bursa saham (yang merupakan bentuk investasi tidak langsung) misalnya, dari pada investasi jangka panjang. Mereka melakukan investasi atau pembelian saham bukan untuk memiliki perusahaan dan mengaturnya, juga bukan kerjasama ekonomi antar para pemegang saham atau antara pemilik modal dan pengelola, melainkan untuk memperoleh keuntungan dalam tempo yang amat cepat!
Dalam kondisi seperti itu maka pelaku-pelaku ekonomi yang mendominasi modal (dalam investasi tidak langsung) memegang catur untuk menentukan dan mendikte pasar (terutama harga saham maupun tingkat kurs pertukaran mata uang) sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Mereka kapan saja dapat menaikkan atau membanting harga saham ataupun kurs mata uang. Dan makin bertambah runyam lagi dengan munculnya para spekulan besar yang turut mengintervensi pasar untuk memperoleh keuntungan singkat namun cukup besar dari fenomena ini. Akumulasi kekuatan modal asing yang beromset ratusan milyar dolar tentu saja dapat menggulung perekonomian negara-negara yang dilihat dari omset dan perputaran ekonominya lebih kecil, meski ‘ditolong’ oleh IMF. Sebab, lantaran besarnya dana IMF tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan mereka, pertolongan itu pun sia-sia. Bahkan syarat-syarat pertolongan itulah yang mendorong dan memperbesar krisis ekonomi lebih lanjut.
Disamping itu investasi di pasar-pasar bursa melandasi transaksi ekonominya berdasarkan ‘kepercayaan’ masyarakat dan para pelaku ekonomi terhadap bursa. Padahal transaksi-transaksi dalam bursa bersifat spekulatif dan tidak dilandasi atas nilai-nilai empirik yang wajar. Dengan kata lain, terjadi perubahan transaksi ekonomi yang pada umumnya menyangkut barang atau jasa/manfaat yang dipertukarkan dengan harga tertentu, yang biasa dikenal dengan istilah sektor riil seperti produksi barang dan jasa, beralih dan difokuskan pada sektor non riil atau sektor keuangan (sebagian orang menyebutnya sektor ekonomi parasit). Dalam sektor non riil ini, transaksi antara lain dalam bentuk jual beli kertas-kertas berharga, seperti saham, obligasi, giro, termasuk jual beli valas di pasar-pasar bursa dalam maupun luar negeri untuk memperoleh margin (keuntungan) dan lain-lain.
Masalahnya sektor non riil ini dibangun berdasarkan azas kepercayaan, yang tidak didukung oleh barang ekonomi yang secara empirik ada dan nilainya sama dengan yang beredar di pasar non riil (seperti mata uang emas dan perak misalnya). Jadi yang mereka transaksikan adalah khayalan dan bohong-bohongan karena dibangun atas dasar kepercayaan saja. Hal ini akan mengganggu kesetimbangan ekonomi, yang pada suatu saat ketika kepercayaan itu hilang, maka pasar serta harga yang diciptakan oleh mereka akan hancur, kembali kepada nilai hakikinya, yang mereka ciptakan dan memang tidak memiliki nilai apa-apa. Si pemilik sahampun tertimpa kerugian yang amat besar. Sistem transaksi semacam ini ibaratnya seperti rumah/sarang laba-laba, yang tampak luarnya amat kuat akan tetapi pilar-pilar dan tonggaknya amatlah rapuh. Maka setiap negara yang mendasari salah satu transaksi ekonominya dan perkembangan serta perputaran ekonominya dengan investasi tak langsung (seperti pasar bursa) pada dasarnya memiliki fundamen ekonomi layaknya sarang laba-laba, termasuk negara-negara seperti Korea Selatan atau Taiwan misalnya yang katanya termasuk macan Asia atau Thailand dan Indonesia yang pertumbuhan ekonominya cukup mencengangkan, namun karena mendasari salah satu tiang ekonominya dengan investasi tak langsung untuk memperoleh modal dari luar, jatuhnya ekonomi negara-negara itupun hanya menunggu waktu saja. Allah SWT telah mengingatkan hakekat rumah laba-laba ini sebagaimana firman-Nya :
“Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, seandainya mereka mengetahuinya (QS Al Ankabuut: 41)
TONGGAK RAPUH BURSA
Pasar-pasar bursa yang marak dan berkembang pada tahun 80-an, termasuk di negeri kita, tidak mungkin ada dan beroperasi jika tidak dibangun berdasarkan sistem ekonomi kapitalis. Dan memang dari sanalah ide berdiri dan beroperasinya bursa sebagai bagian investasi ekonomi tak langsung yang diciptakan Barat untuk mengeruk keuntungan secara cepat.
Tonggak-tonggak tersebut adalah :
- PT atau syarikat saham.
- Sistem ribawi (bunga bank)
- Sistem Bank Note (uang kertas)
Dalam sistem kapitalis, komposisi saham amat menetukan kepemilikan perusahaan dan pihak yang paling besar prosentase kepemilikannya (lebih dari 50% saham) memiliki otoritas menentukan arah dan keberlangsungan perusahaan. Suara dalam rapat pemegang saham ditentukan atas dasar prosentase ini. Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem Islam dalam syarikat, dimana setiap orang yang terlibat dan memiliki andil di perusahaan itulah yang dijadikan dasar untuk membuat suatu keputusan, bukan prosentase sahamnya. Jika salah seorang yang turut andil tidak setuju maka tidak dapat dijalankan suatu jenis usaha tertentu.
Dalam sistem kapitalis, meskipun jumlah pemegang saham itu lebih banyak, dan yang memiliki prosentase terbesar saham cuma satu atau dua orang saja, maka yang banyak itu akan dikalahkan oleh mereka yang memiliki prosentase saham terbesar (semacam adanya tirani minoritas orang yang menguasai mayoritas saham). Jadi dari segi kepemilikan tidak dapat dibenarkan sistem semacam ini.
Dalam banyak kondisi, pihak yang menguasai prosentase saham terbesar dapat memaksa atau tidak mendengar sama sekali (tidak perlu izin) pemilik saham kecil lainnya, agar perusahaan itu terjun ke lantai bursa dengan menjual saham-saham perusahaan itu misalnya. Dengan kata lain modal milik bersama diputuskan untuk dijual misalnya di lantai bursa tanpa izin pemilik lainnya. Hal ini tidak dapat dibenarkan menurut Islam karena setiap bentuk transaksi penjualan saham harus atas persetujuan seluruh pihak yang andil sebagai pemilik bersama (disebut juga syarikat), tanpa melihat prosentase besar atau kecilnya saham mereka masing-masing. Oleh karena itu, salah satu perkara yang diharamkan Islam dalam pembentukan perusahaan berdasarkan saham (syarikat musahamah) karena di dalamnya tidak terpenuhinya syarat akad antara dua pihak, melainkan antara seseorang dengan sahamnya saja (lihat Nizhamul Iqtishodi fil Islam, kar. Taqiyuddin an Nabhani, hal 161-163)
Adapun tentang riba, maka hal ini telah diharamkan dengan jelas sekali dalam Al Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT :
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah 275)
Di dalam pasar bursa pelaku-pelaku pasar bukan hanya pembeli dan penjual akan tetapi juga terdapat broker (pialang), penjamin emisi (sekuritas), juga lembaga-lembaga keuangan yang menyediakan dana untuk pembelian saham kepada orang-orang tertentu atau pihak-pihak yang menginginkan saham. Dan setiap lembaga keuangan Kapitalis yang bermain di dalam bursa, dapat dipastikan tidak akan ada transaksi kecuali terdapat riba di dalamnya. Misalnya ada salah seorang yang akan membeli saham senilai 1 juta dollar AS, dengan pinjaman dari bank sebanyak 90% total nilai saham yang dibelinya. Berarti bank meminjamkan kepadanya senilai 900.000 dollar AS, dan uang miliknya sendiri 100.000 dollar AS. Kemudian seandainya harga saham merosot 20% saja berarti total nilai saham yang dimilikinya menjadi 800.000 dollar AS saja (bukan lagi 1 juta dollar As), sehingga nilai pinjamannya terhadap bank jadi turun sebesar 720.000 dollar AS dan miliknya yang 10% menjadi 80.000 dollar AS. Maka terdapat selisih nilai pinjaman terhadap bank sebesar 180.000 dollar AS. Jika kesepakatan antara si peminjam dengan bank itu berlandaskan pada nilai pinjaman, maka menjadi sesuatu yang berat bagi si peminjam. Belum lagi perhitungan bunga atas pinjamannya ke bank tersebut. Dapat dibayangkan jika terdapat fluktuasi tajam di pasar bursa, yang terjadi adalah ketidakpastian/spekulasi. Lalu apa bedanya antara bursa dengan kasino-kasino perjudian, dan apa bedanya si penjudi di kasino dengan para investor yang membeli saham di lantai bursa? Inilah yang dimaksud dengan riba sharf (riba pertukaran mata uang atau saham) yang juga diharamkan oleh Islam.
Sedangkan yang dimaksud dengan Bank Note (uang kertas), sistem Kapitalis mendasarinya berdasarkan kepercayaan saja. Sebab apa yang mereka keluarkan dalam bentuk Bank Note tidak memiliki back-up dalam bentuk hakiki (seperti emas dan perak) yang nilainya sama dengan yang mereka cetak dalam bentuk mata uang kertas atau kertas-kertas berharga lainnya. Jadi yang mereka lakukan hanyalah permainan kepercayaan atas berbagai transaksi yang menggunakan kertas-kertas berharga yang nilai hakikinya tidak ada melainkan seonggok kertas bernomor saja dan dibangun berdasarkan kepercayaan seolah-olah onggokan itu berharga di mata masyarakat.
PEMECAHANNYA DALAM EKONOMI ISLAM ?
Tiga tonggak yang membangun pasar- pasar bursa di dunia yang menjalankan sistem Kapitalis amat bertentangan dengan syariat Islam. Dan tidaklah patut bagi seorang muslim dan bagi masyarakat muslim untuk tunduk dan patuh serta menyelesaikan segala problema- tika mereka kepada sistem dan ideologi Kapitalis, yang bertolak belakang dengan sistem Islam. Allah SWT. berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. Al Ahzab 36)
Oleh karena itu kaum muslimin seharusnya sadar, bahwa problematika yang mereka hadapi saat ini, termasuk problematika dan krisis ekonomi yang melanda kaum muslimin saat ini adalah akibat tidak diterapkannya sistem ekonomi Islam. Apa yang pernah menimpa Barat karena menjalankan Kapitalisme, juga akan menimpa kaum muslimin yang membebek di belakangnya. Dengan demikian kaum muslimin seharusnya memecahkan masalah ini dalam bentuk praktis dengan :
- Mengubah bentuk PT supaya sesuai dengan syariat Islam tentang hukum-hukum Syirkah.
- Menghapuskan riba sama sekali dan tanpa syarat.
- Mengubah standarisasi mata uang dengan kembali pada mata uang emas dan perak (sistem dua logam).
Disamping itu setiap bentuk transaksi ekonomi yang terdapat spekulasi di dalamnya atau sesuatu yang diharamkan oleh Islam harus dihapuskan, karena prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam dibangun berdasarkan sesuatu yang riil, barang atau jasa yang dipertukarkan dengan harga yang riil, bukan menjual atau membeli sesuatu yang tidak ada atau belum ada dan tidak dibayar dengan sesuatu yang hakikatnya secara nyata tidak ada.
Jadi kemilau ekonomi kapitalis saat ini hanyalah fatamorgana yang menipu kaum muslimin, bagaikan sarang laba-laba yang terlihat kuat akan tetapi hakekatnya memiliki kelemahan dan amat rapuh. Dengan fundamental yang ekonomi yang begitu rapuh, negara-negara Asia pengikut sistem ekonomi Kapitalis, terutama di Asia Tenggara, yang sebagian besarnya adalah kaum muslimin bakal mengalami kebangkrutan! Bukan tidak mungkin resesi ekonomi kini akan berujung pada perang dunia ketiga!
Apakah hal ini tak disadari oleh kaum muslimin? Bukankah Allah SWT. mengingatkan sekaligus mengancam setiap muslim yang melupakan ajaran-Nya, termasuk ajaran dan hukum-hukum ekonomi Islam –yang telah dan pernah dipraktekkan di masa Khilafah Islam selama lebih dari seribu tahun, tanpa menimbulkan masalah berarti. Maka apakah kita masih mau tunduk dan patuh terhadap sistem ekonomi buatan manusia yang Barat (sang Ideolog) sendiri tidak mampu mengendalikannya dan terbukti kelemahannya? Sungguh amat tepatlah firman Allah SWT.:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan