GALI LUBANG TUTUP LUBANG FENOMENA EKONOMI UMAT
Sudahmenjadi tradisi hampir selama tiga puluh tahun terakhir ini, Indonesia senantiasa tergantung kepada pinjaman luar negeri. Tahun ini saja CGI (Consultative Group On Indonesia), semacam kumpulan negara-negara donor memberikan komitmennya atas pinjaman sebesar 5,26 miliar dolar, turun hampir 2%, itupun disebabkan menguatnya nilai dolar terhadap yen Jepang. Maklum saja kalau Jepang memiliki porsi terbesar yagn memberikan pinjaman dalam CGI.
Tak pelak lagi, jika pinjaman ini diakumulasikan secara keseluruhan sudah melebihi total hutang 100 miliar dolar. Menaikkan pamor Indonesia sebagai negara penghutang terbesar seperti Mexico dan Brazil. Dan jika dihitung-hitung sama artinya rakyat Indonesia memiliki hutang setiap kepala lebih kurang 500.000 rupiah.
Bagi rakyat awam, mungkin sederhana saja cara berpikirnya, kalai memang hutang itu sebagai pelengkap, kok selama tiga puluh tahun ketergantungan kita terhadap hutang semakin menjadi-jadi. Bukannya semakin menyusut malah membengkak dan sulit diatasi. Sebenarnya kalau kita tilik, bagaimana posisi hutang luar negeri dalam neraca anggaran kita? Dan bagaimana cara menghilangkannya, serta siapa yang berada dibelakang group negara-negara donor? Apakah niatan mereka membantu atau meringankan? Ataukah sebaliknya menjerat dan menghisap kita dengan ketergantungan yang tidak mampu dilepaskan lagi?
Realita Hutang Luar Negeri
Apabila kita mengamati APBN sejak tahun 1996, akan dijumpai bahwa anggaran rutin dengan anggaran pembangunan selalu defisit (kekurangan). Defisit inilah yang ditutup dengan pinjaman luar negeri, sehingga menjadi anggaran yang dinamis dan berimbang. Hal ini tercantum pula dalam GBHN. Wajar saja jika kemudian posisi pinjaman bukan sebagai pelengkap tetapi pilar yang amat dibutuhkan. Kalau tidak maka APBN akan defisit.
Belum lagi bentuk pembayaran hutang harus berupa valuta asing, bukan dalam mata uang rupiah. Bayangkan kalau nilai mata uang rupiah jatuh terhadap Yen atau Dolar, berarti hutang yang harus dibayar bisa lebih besar, padahal tidak ada penambahan pinjaman baru. Tentu saja fenomena ini dapat meguras dan menghabiskan devisa negara. Namun, yang lebih parah jika kita mengkaji dengan seksama, pembayaran cicilan hutang sudah lebih besar dari pinjaman baru, ini namanya ‘gali lubang tutup lubang’. Lalu, bila kita berpikir secara hakiki, bahwa apa yang kita lakukan sama saja dengan membantu dan membuayai pembangunan negara-negara donor.
Sekedar tahu saja, bahwa sebuah negara akan diberi pinjaman oleh negara donor jika sudah dianggap layak menerimanya. Hal ini dilakukan pengkajian, pemeriksaan dan pemantauan yang dipimpin Bank Dunia bekerja sama dengan IMF (Dana Moneter Internasional). Artinya, pemberian pinjaman dilakukan setelah Bank Dunia tahu suatu negara dengan tetek bengeknya, sampai-sampai rahasia dapur kita diketahuinya.
Metodologi inilah yang lazim digunakan, yaitu dengan mengirimkan ahli-ahli keuangan untuk mengetehui kemampuan keuangan suatu negara, kemudian menentukan jumlah pinjaman yang akan diberikan. Mereka tidak akan memberi pinjaman, sebelum mengetahui kemampuan ekonimi negara tersebut dengan turut campur urusan-urusan dalam negeri yang bersangkutan, sehingga mereka menentukan sarat-sarat yang amat ketat sebelum menyetujui pinjaman (lihat As-Siyaasat al-Iqtishoodiyah al-Mutsla, karya Abdurrahman Maliki. Hlm. 201-201).
Apakah tidak pernah kita pikirkanjika rahasia dapur kita sudah diketahui, maka kita akan dijerat dengan hutang yang tidak pernah dapat dilunasi. Apakah tidak pernah ada dalam benak kita siapa yang berada dibalik Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional adalah negara-negara besar seperti Amerika yang tidak pernah akan puas dengan dominasi imperialismenya, termasik imperialisme ekonomi untuk menguasai negara-negara miskin yang sebedarnya kaya akan sumber daya alam yang tidak mereka miliki? Di lain pihak kita malah bersorak kegirangan menerima pinjaman (hutang) yang cukup besar. Sungguh irinis!
Memang isu-isu awal yang dilontarkan menjelang pemberian pinjaman dikaitkan dengan hak azasi manusia, isu lingkungan hidup, malah kebijakan politik dalam negeri disinggung dalam masalah pinjaman. Ini bukti bahwa pemberian pinjaman pada negeri-negeri muslim (baca. Miskin), tidak sekedar komitmen sosial dan kemanusiaan, melainkan lebih besar dan jahat.
Tidakah kita ingat dengan peringatan Allah SWT, bahwa orang-orang kafir (negara donor) tetap dengan predikatnya kafir, yang membenci Islam dan kaum muslimin, serakah dan tidak pernah puas. Firman Allah SWT :
“Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka”.(Q.S Al-Baqarah : 120)
Sebelum mereka menguasai kaum muslimin dan menguasai sumber-sumber ekonomi milik kaum muslimin, nafsu serakah mereka tidak pernah berhenti. Maka, apakah kita masih mesaruh kepercayaandengan komitmen-komitmen mereka yang busuk itu? Janganlah Anda berpikir bahwa mereka sekedar berpikir ekonomi arau bisnis. Sebab di belakang mereka Bank Dunia dan IMF-lah yang mengatur mekanisme dan sistem ekonomi di seluruh dunia sesuai dengan keinginannya. Apakah kita tidak pernah belajar dari kebangkrutan Mexico atau Brazil, begitu pula yang dilakukan Inggris dan Prancis pada awal abad ini terhadap negeri-negeri seperti Mesir, Iran, Iraq dan sebagainya yang akhirnya menjadi kaki tangan mereka dan menjadi budaknya yang setia, sebab tergantung secara mulak dengan induk semangnya.
Bagaimana Mengatasinya?
Tidakah anda perhatikan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna menunjukkan kemampuannya memecahkan masalah yang tengah dan akan dihadapi oleh umatnya. Allah SWT telah meridhoi Islam sebagai agama kita yang didalamnya tersimpan mekanisme yang amat menakjubkan, yang memungkinkan umatnya yang beriman dan menerapkan Islam secara sempurna akan memperoleh kebahagiaan, kemakmuran dan ketentraman. Termasuk pemecahan dalam masalah ekonomi.
Islam telah menjadikan harta-harta tertentu sebagai pemasukan tetap Baitul Mal (kas Negara) yang tidak akan pernah kosong dan defisit, seandainya saja umat Islam mau meneraplan sistem Islam dalam perkara ini.
Sumber pemasukan tetap itu antara lain fa’I (harta yang ditunggalkan oleh musuh yang melarikan diri), ghanimah (harta rampasan perang), anfaal, kharaj (pungutan atas orang non-muslim yang hidup dan tunduk kepada hukum Islam), pemasukan dari hal milik umum dengan berbagai bentuknya (seperti barang tambang, hasil hutan, hasil laut, pantai, sungai, danau dan lain-lain yang dimiliki umat tetapi dikelola oleh negara), pemasukan dari hal milik negara seperti ‘usyur (sejenis cukai perbatasan) khumus rikaz, zakat dan sebagainya (lihat Nizhom al-Iqtishodi fii al-Islam, karya An-Nabhani, hal 277)
Tentu saja semua itu dapat membuayai aktivitas ekonomi kaum muslimin jika umatnya mau memahami dan tunduk pada hukum-hukum Islam. Sebab jumlah total aset yang dimiliki oleh kaim muslimin saja tidak terhitung banyaknya, ini saja cukup untuk membuayai pembangunan umat, tanpa harus mengemis dan terikat dengan syarat-syarat yang dipaksakan oleh negar-negara donor yang menguasai sistem ekonomi dunia.
Andapun bisa membayangkan jika sumber-sumber ladang minyak dan gas, tembaga, perak nikel, emas dan sebagainya yang tersebar di seluruh negeri muslim dikelola oleh kaum muslim sendiri tanpa terkait dengan pihak-pihak asingyang serakah. Tentu hasilnya mengagumkan! Ini hanya salah satu aspek pemilikan umat yang dikelola oleh negara, belum pemasukan-pemasukan dari sektor lainnya.
Amat paradoks jika kita memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi kita miskin dan mengemis kepada negara yang sebenarnya miskin sumber daya alamnya. Lebih mengherankan lagi jika kita melihat bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang dihinakan oleh Allah SWT, yang tidak patut umat yang mulai ini tunduk dan patuh dibawah mereka. Umat Islam adalah umat yang memiliki potensi yang amat besar dalam perekonomian. Sayang jika kita lalai dengan peringatan Allah yang disampaikan kepada kita, kemudian kita menolak dan tidak mau menerapkan perintah Allah, yaitu hidup kembali dengan sistem Islam, dengan tolak ukur Islam, dengan syari’at Islam bukan dengan tolak ukur manusia atau ideologi selain Islam. Allah SWT berfirman :
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit”.(Q.S Thahaa : 124)
Sungguh selama perjalanan peradaban Islam, sejak Rosulullah SAW, para Khulafaa ar-Rasyidin, kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaa hingga runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah di Turki awal abad ini, tidak pernah kaum muslikin berhutang, apalagi kepada negara-negara kafir yang mendapatkehinaan dari Allah SWT, Semua itu karena mereka, para Khulafaa menerapkan sistem Islam, bukan sekedar aspek ritual sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini, tetapi mereka telah menerapkan Islam sebagai sebuah sistem, sebuah ideologi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan, militer dan sebagainya.
Umat Islam saat mestianya sadar bahwa dengan tidak diterapkannya kembali sistem Islam umat mendapatkan kerugian dan kehinaan dua kali : pertama, telah melalaikan perintah Allah SWT sehingga rugi di akhirat. Kedua, mendapatkan kehinaan di depan negara-negara kufur yang seharusnya kita hunakan. Apakah umat hendak memilih dua kehinaan itu, ataukah umat ingin memperjuangkan Islam meskipun mendapatkan kehinaan dari manusia yang disisi Allah mendapat kemuliaan.
Benarlah kiranya kabar Rosulullah tentang kondisi umat saat ini : “Akan datang suatu masa – dalam waktu dekat – bangsa-bangsa (selain Islam) bersatu untuk mengalahkan (memperebutkan)-mu, ibarat segerombolan orang yang rakus berkerumun berebutan hidangan makanan disekitar mereka. Salah seorang bertanya kepada Rasul “ Wahai Rosulullah apakah karena jumlah kita sedikit waktu itu?” Beliau menjawab, “Bahkan kamu pada waktu itu adalah golongan yang banyak akan tetapi bagaikan buih di atas air. Allah telah mencabut perasaan takut dari hati musuhku, dan Allah menancapkan wahn dalam hatimu, “Apa yang dimaksud dengan wahn itu?” Nabi menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”(H.R Bukhori-Muslim).
Semoga kita terjaga dari sifat yang demikian.